Buat Anda yang tidak bisa Copy Paste Makalah ini,
Tahanmul Wal Ada’ al-Hadis
Serta Lambang-Lambang (Shigat) Yang digunakan
Di Susun Oleh :
Nama NIM
v Hardianto. S 10400114141
v Muh. Yanzir 10400114141
Kelmpok 18
Kelas Ilmu Hukum C
Jurusan Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum
UIN ALauddin Makassar T.A 2015
DAFTAR ISI
Sampul
Makalah……………………………………………………………………....i
Daftar Isi………………………………………………………………………………ii
Kata
Pengantar………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN
·
Latar Belakang………………………………………………………………...1
·
Rumusan Masalah……………………………………………………………..1
BAB II PEMBAHASAN
·
Pengertian Tahanmul Ada’ al-Hadis………………………………………......2
·
Syarat-syarat Tahanmul Ada’
al-Hadis………………………………………..3
·
Metode-metode Tahanmul Ada’ al-Hadis……………………………………..6
·
Sighat Tahanmul Ada’ al-Hadis dan implikasinya
terhadap persambungan sanad………………………………………………………………………….11
·
Macam-macam cara meriwayatkan hadis
(AL-Ada’)………………………..12
BAB III PENUTUP
·
Kesimpulan…………………………………………………………………..14
·
Daftar Isi……………………………………………………………………...15
·
Lampiran……………………………………………………………………..16
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah -, kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah ‘azza wa jalla,
karena berkat inayah-Nyalah makalah tentang “Syarat-Syarat Perawi Hadis dan
Proses Transformasi” dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Ilmu Hadis.
Shalawat serta salam
tetap tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam kepada
keluargannya, para sahabat-sahabatnya, tabi’in dan attaba’ut tabi’in, dan orang
yang senantiasa mengikuti jejak beliau sampai akhir zaman.
Kami menyadari makalah
ini jauh dari kesempurnaan kalau dibandingkan dengan makalah teman-teman yang
ada. Tapi kami sadar bahwa tidak ada manusia yang sempura, hanya Allah lah yang
Maha Sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari sahabat-sahabat maupun para peserta diskusi,
demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
Makassar,
18 Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
·
Latar Belakang
Penghimpunan dan periwayatan hadis tidak bersifat
konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat
dengan beragam bentuknya berdasarkan
kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadis tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi
syarat-syarat yang amat rumit yang
telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di
dalam buku-buku Ilmu Hadis.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan
dengan hadis Rasulullah saw, kecuali mereka jelaskan. Untuk memahami ilmu hadis, ulama
telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh
besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan
terhadap para perawi hadis. Yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing-masing ilmu bisa berdiri
sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam
waktu yang hampir bersamaan dan saling
berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai
hasil penerapan ilmu-ilmu itu
dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap hadits menjadi shahih,
hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf, maqtu’ dan lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki
pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi
hadis adalah tahammul wa ‘ada’ul hadis yang akan kita bahas dalam
makalah ini.
·
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tahanmul Ada’ al-Hadis ?
2. Sebutkan Syarat-Syarat Tahanmul Ada’ al-Hadis !
3. Sebutkan metode apa saja yang dipakai Tahanmul Ada’ al-Hadisserta
lambing-lambang (sighat) yang digunakan !
4. Jelaskan lebih lanjut apa itu sighat Tahanmul Ada’ al-Hadis dan
implikasinya terhadap persambungan sanad !
5. Sebutkan macam-macam cara meriwayatkan hadis !
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tahanmul Wal Ada' al-Hadis (Transformasi Kitab Hadis)
a. Tahanmul Hadis
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli
tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا)
yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti
tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung
hadits. Sedangkan Tahanmul al-Hadis menurut istilah adalah ulama ahli hadis. Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah
“mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara
tertentu.
Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan
pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di
bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang
nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh
dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh
ataukah malah sebaliknya.
b. Al- Ada’ al-Hadis
Al-Ada’ al-Hadis secara etimologis berarti sampai dan melaksanan.
Menurut bahasa Al-Ada’ al-Hadis adalah menyampaikan hadis. Sedangkan menurut
Istilah Al-Ada’ al-Hadis adalah
meriwayatkan dan menyampaikan hadis kepada murid, atau proses mereportasekan
hadisn setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Kita mewarisi banyak sekali kitab hadis. Sebagian
diantaranya sampai kepada kita, sebagian yang lain tidak. Itulah warisan
peninnggalan Islam yang paling agung yang akan tetap di pelihara oleh para
ulama dan cendikiawan muslim. Jumlahnya memeang banyak sekali, dan itu memang
pantas dikarenakan koleksi hadis Nabi memang sukar di hitung jumlahnya. Sulit
juga di himpun dalam kitab secara lengkap. Imam Ahmad bn Hanbal memilih
mudnadnya sendiri tidak kurang dari 750.000 hadis, padahal jumlah hadis yang
ada pada musnad tersebut tidak mencapai 40.000 buah.
2. Syarat-syarat Tahanmul Wal Ada’ al-Hadis
a. Syarat-syarat tahanmul wal Ada’ al-Hadis
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam
hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan
dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1) Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
2) Integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan
tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
Adalah adalah keadilan. Seoarang perawi hadis haruslah ‘Adl
dan Dhabith, yaitu seorang muslim dewasa yang sepenuhnya memiliki
kapasitas intelektual, yang tidak pernah melakukan dosa besar, juga tidak
pernah melakukan dosa-dosa kecil. Dia harus sepenuhnya menyadari tanggungjawab
dalam menyampaikan hadis, dia harus memiliki daya ingat yang unggul; dan jika
ia menyampaikan dari tulisan maka dia harus memastikan bahwa teksnya benar; dia
juga harus memiliki pengetahuan mengenai kesulitan kebahasaan dengan teks.
3) Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti
hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
4) Sifat adil ketika dibicarkan
dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu
karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada
melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan
dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Adapun syarat-syarat
bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip
hadits dari orang lain
adalah:
1)
Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang
valid).
2)
Berakal sempurna.
3) Tamyis.
Ulama’ hadist memiliki
beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan
minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih
berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau
berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama hadist
masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas
ulama hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang
lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang
lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama
jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in
yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein,
Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas tanpa membedakan
mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga
diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar
Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang
fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini
bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Syarat yang
pertama perawi dalam tahammul al-hadits adalah tamyiz. Menurut al-Hafidz
Musa ibn Harun al-Hamal “seorang anak bisa disebut tamyiz jika
sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar”. Kalau menurut penulis
seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara kambing dan anjing.
Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya “kemampuan
menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal”. Ada juga yang mengatakan
bahwa ukuran tamyiz adalah “pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan
menjawab pertanyaan dengan baik dan benar”.
Seorang yang belum
baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada
keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya yang menerima
hadits walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair,
Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda
pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadits dengan batasan
usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah
usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan mengingat-ingat
sesuatu, termasuk hadits nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan
bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab
pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn
Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Syarat perawi
dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah tamyiz, sedangkan beragama
islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits. Adapun syarat berakal sehat
sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits karena untuk menerima hadits
yang merupakan salah satu sumber hukum islam sangat diperlukan. Oleh karena itu
tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadits tersebut ketika dalam
keadaan tidak sehat akalnya. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus
adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri
orang tersebut sekalipun belum baliqh.
b.
Syarat-syarat Al-ada’ Ul-Hadis
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat
menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai
ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan
(‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi).
Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits
maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat
syarat yaitu:
1)
Islam
2)
Balig
3)
Berakal
4)
Takwa
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh
perawi hadits seperti diungkapkan al Zanjani lebih banyak
dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti
bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang
ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang
menjadi tolak ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya,
dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
Pada umumnya para sahabat Nabi
membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib,
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik
(wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32
H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah
(wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara
makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid
bin Arqam.
Perbedaan pandangan
tentang periwayatan hadis secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama
sesudah zaman sahabat. Ulama yang membolehkan periwayatan secara makna
menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya proses
periwayatan, yang bersangkutan harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa
arab, hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi,
umpamanya bacaan shalat, dan periwayatan secara makna dilakukan karena
sangat terpaksa. Dengan demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah
berlangsung secara longgar, tetapi cukup ketat.
Walaupun cukup ketat syarat
periwayatan hadits secara makna, namun kebolehan itu memberi petunjuk bahwa
matn hadits yang diriwayatkan secara makna telah ada dan bahkan banyak.
Padahal, untuk mengetahui kandungan petunjuk hadits tertentu, diperlukan
terlebih dahulu mengetahui susunan redaksi (tekstual) dari hadits yang
bersangkutan, khususnya yang berkenaan dengan hadits qauli (hadits yang berupa
sabda Nabi SAW). karenanya, kegiatan penelitian dalam hal ini sangat penting.
Para Ahli hadis dan pertentangan riwayat
Pada dasarnya, bersandar pada metode
“pertentangan riwayat” merupakan metode yang alamiah dan logis. Sebab riwayat
merupakan bukti bagi seorang rawi tentang hadis yang ia riwayatkan. Oleh sebab
itu, para ulam ushul dan mustalah hadis sering melakukan penelitian untuk
menemukan segi-segi kesesuaian dan perbedaan bukti-bukti tersebut dengan rawi.
Seorang kadhi di pengadilan
membanding-bandingkan pernyataan-pernyataan para saksi. Ia dalam hal ini
memperjelas berdasarkan indicator dan menjadikan bukti-bukti tertulis sebagai
alat bantuuntuk sampai kepada masalah yang sebenarnya. Demikian pula halnya
yang dilakukan oleh para kritikus dikalangan ahli hadis.
3.
Metode-Metode Tahanmul Wal Al-Hadis serta
lambing-lambang (Shigat) yang digunakan.
a.
As-Sama’, atau mendengar lafazh
guru
Bentuknya: seorang guru membaca
dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan
baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan
tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-Sama’ ini merupakan bagian yang
paling tinggi dalam pengambilan hadits. Lafazh-lafazh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah
mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak, “kami
telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami”.
Ini menunjukkan bahwasanya dia mendengar dari syekh bersama yang lain. Adapun lafaz : telah berkata kepadaku
atau telah menyebukan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah
pelajaran bukan untuk mendengarkan hadis.
b.
Al-Qira’ah, membacakan hadis kepada syegh atau
guru
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh,
dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau
orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari
hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau
memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Para ulamaberpendapat bahwa tingkatan
al-Qira’ah lebih rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan
lafadh-lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya
dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh
as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti :
haddatsana qira’atan ‘alaih (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang
kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan
lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
c.
Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya untuk
meriwayatkan hadits atau kitab, sekalipun murid idak pernah mendengar dan
membacanya. Gambarannya : Seorang syaikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya “ Aku
ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian”. Di
antara macam-macam ijazah adalah :
·
Seorang
guru hadis memberikan lisensi pada seorang murid yang telah ditentukan untuk
hanya meriwayatkan suatu kitab hadis yang telah ditentukan, seperti dalam
kalimat berikut ini, “Aku berikan ijazah kepadamu untuk meriwayatkan segala
hadis yang terdapat dalam kitab salah satu al-bukhori “ aku berikan ijazah
kepadamu hadis-hadis yang terkandung dalam daftar isi kitabku”.
·
Seorang
guru memberikan lisensi kepada seorang murid yang telah ditentukan untuk
meriwayatkan hadis-hadis yang tidak ditentukan, seperti dalam kalimat berikut,
“aku berikan lisensi kepadamu untuk meriwayatkan hadis-hadis yang telah aku
terima”.
·
Seorang
guru hadis memberikan lisensi kepada seorang yang tidak ditentukan untuk
meriwayatkan hadis secara umum, seperti dalam kalimat berikut “aku memberikan
lisensi pada semua kaum muslimi” atau aku memberikan kepada seseorang yang
sejalan denganku”.
·
Memberikan lisensi pada seseorang yang
belum ada, seperti aku memberikan lisensi pada seorang anak yang akan
dilahirkan fulan.
Perlu diketahui dari kelima bentuk ijazah. Menurut jumhur ulamayang
diperbolehkan dan ditetapkan sebagai suatu yang diamalkan adalah bentuk
pertama. Dan inilah pendapat yang benar, sedangkan bentuk-bentuk yang lain
terjadi banyak perselisihan diantara banyak ulama. Ada yang batil lagi tidak
berguna. Lafas-lafas yang digunakan dalam penyampaian riwayat yang diterima
dalam jalur ijazah adalah ijazah si fulan ( beliau telah memberikan ijasah, dan
beliau telah memberitahukankepada fulan ), haddatsana ijazatan (beliau telah
memberikan dan memberitahukan kepada kami secara ijazah).
d. Al-Munawalah atau menyerahkan, yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis ataupun kitab
kepada muridnya untuk diriwayatkan. Muwalah terbagi kedalam dua bagian yaitu :
·
Al-Munawalah
yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si
fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya
untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan
dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan
al-qira’ah.
·
Munawalah yang tidak
diiringi dengan ijazah, jiaka seorang guru memberikan kitabnya kepada seorang
murid dengan hanya mengatakan “ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak bole diriwayatkan
berdasarkan pendapat yang shahih”.
Lafaz-lafaz yang dipakai dalam menyampaikan hadis atau
riwayat yang ditema dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata
nawalani wa ajazani, atau haddat sana munawalah wa ijazatan, atau akhbarana
munawalatan.
e.
Kitabah yang menuliskan.
Yaitu seorang guru hadis menuliskan yang diterimanya kepada muridnya yang
hadir dan tidak hadir, baik hadisnya itu ia tulis sendiri atau merupakan
tulisan orang lain yang perintahnya. Khitabah terbagi dalam dua bagian yaitu :
·
Khitabah yang diserta dengan ijzah, seperti
perkataan seorang guru kepada muridnya,”aku ijazakan kepadamu apa yang aku
tuliskan untukmu”. Atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini
adalah sahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang di sertai
dengan ijazah.
·
Khitabah yang tidak disertai dengan ijazah,
seperti seorang guru menulis sebagian hadis kepada muridnya dan dikirim tulisan
itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Disini erdapat
perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan dan sebagan
yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut karya guru
sendiri.
f.
I’lam yang berarti memberitahu
Yaitu seorang guru memberitahu kepada muridnya bahwa hadis atau kitab yang
ada padanya itu adalah yang diterimanya dari gurunya dan ia
tidak mengijinkan hadisnya itu diriwayatkan, karena ia hanya memberitahukan
hadis tersebut pada muridnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain
tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi
berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
g. Washiyyah yakni pesan
yaitu seorang guru hadis memberikan wasiat
suatu kitab yang diriwayatkannya pada muridnya, ketika guru tersebut sudah
mendekati ajalnya atau ia akan berpergian
jauh. Dalam hal ini masih ada perbedaan pendapat dalam sebagian ulama,
ada yang memperbolehkan ada juga yang tidak memporbelehkan menggunakan jalan
ini. Adapun ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan: “Aushaa
ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab)”
atau “haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku
dengan sebuah wasiat)”.
h. Al-Wijadah yakni penemuan
yaitu: seseorang yang memperoleh
hadis dari orang lain dengan tidak melalui cara sama’, ijazazah maupun munawalah.
Misalkan, seseorang menemukan sebuah hadis tertulis dari seorang guru yang
pernah ia jumpai, kemudian ia tulis ulang lalu ia sampaikan. Atau ia memang
tidak pernah menjumpai guru tersebut, akan tetapi ia yakin tulisan itu benar
miliknya. Kalau ini terjadi, maka ia harus mengatakan, “Aku membaca tulisan
fulan yang meriwayatkan hadis dari fulan lainnya” Wijadah ini termasuk hadis munqathi’,
karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam
menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi
berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si
fulan), atau “qara’tu bi kaththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan
tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Khusus lambing-lambang yang berupa kata-kata (tepatnya harf) ‘an dan
ama’ ulama telah banyak memeprsoalnkan. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis
mu’an’an yakni hadis yang sanadnya mengandung lambang ‘an, dan hadis mu’an’am
yakni hadis yang sanadnya mengandung lambing anna, memiliki sanad yang putus.
Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa hadis ini dapat dinilai sebagai
bersambung sanadnya bila dipenuhi sayrat-syarat tertentu :
1)
Pada sanadnya hadis yang bersangkuran tidak terdapat
hadis (penyembunyian cacat)
2)
Para periwayat yang namanya beriringan dan diantaranya
oleh lambing ‘an ataupun anna itu telah terjadi pertemuan.
3)
Periwayat yang menggunakan lambing-lambang ‘an ataupun
anna merupakan periwayat kepercayaan (siqah).
Jumlah
lambing untuk metode periwayatan hadis lebih banyak daripada jumlah macam
metode periwayatan itu sendiri. Sebagian dari metode periwayatan hadis memiliki
lebih dari satu lambang.
4.
Shighat Tahanmul Wa Ada’ al-Hadis dan
Impilasinya terhadap sanad.
Sanad menurut Lughat, ialah “sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik
tembok ataupun selainnya, karena surat hutan dinamakan sanad, lantaran kedua
bela pihak berpegang kepada sanad itu. Juga diartikan sanad dengan puncak
(punggung) bukit. Jamaknya : a s n a d. dalam istilah hadis, ialah :
طريؤ متز الحد يث
“ Jalan
yang menyampaikan kita kepada matan hadis”.
Terhadap sanad yang
bermakna “ jalan yang menyampaikan hadis kepada kita”, disebut juga dengan
tharieq dan wajah. Setelah selesai kitamemperkatakan hadis-hadismarfu, mauquf,
maqthu, dll. Maka kini kita juga harus mengetahui beberapa macam hadis yaitu :
1)
Mu’an’am : Hadis yang diriwayatkan dengan
memakai ‘an : dari (diriwayatkan dari)
2)
Mu’annam : hadis yang memakai perkataan “anna” :
bahwasanya, ditengah sanadnya.
3)
Musalsal : sesuatu yang bertali menali atau berantai
4)
Ta’rief Ali : sesuatu yang tinggi
5)
Mudabbaj : Mudabbaj pada lughat, ialah yang
dihias.
As-suyuti memberikan sebuah contoh hadis karena
factor sanad berikut:
“ Anna rajulan tuwuffiya ‘ala ‘abdi rasul Allah
walam yad’ waritsan illa maula huwa a’taqa’bu”. Matan hadis ini mempunyai
sejumlah sanad, diriwayatkan melalui sufyan ibnu “uyainah” ibnu juraij, Hammad
bin salamah, dan Hammad bin Zaid.
Seluruh perawi
hadis dianggap tsiqah oleh para kritikus
hadis (udul dan dhabitun)
5.
Macam-macam cara
meriwayatkan hadis (Al-ada’)/ periwayatan hadis
Periwayatan hadis
yang dalam bahasa Arab : Tahanmu al-‘ilm atau Tahanmul al-Hadis . pada umumnya,
ada 2 cara untuk menerima hadis : hadis tersebut ditulis atau dihafal. Pada
mulanya penerima berkewajiban memberikan perhatian penuh kepada kata-kata yang
digunakaan gurunya. Dia tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut setelah itu (
memberikannya kepada perawi lain secara tertulis ), dengan menghilangkan
kata-kata atau menambahkan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut. Susunan kata-katanya harus dijaga,
sampai detai-detailnya yang menjadi paling kecil sekalipun.
Keseriusan dalam memelihara hadis
sejak awal tidak pernah surut sampai terkoodifikasi dalm bentuk kitab-kitab
hadis standar. Upaya dalam menjaga kemurnian hadis, pada ulama selalu efektif
dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Madina sebagai rumah sunnah (Dar
al-sunnah) merupakan tempat proses pemeliharaan sunnah yang paling dinamis yang
tercermin dalam kehidupan komunis Madinah. Untuk itu kita mesti mengetahui
bagaimana cara meriwayatkan hadis
a)
Riwayat al-Aqran :
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis dari kawan-kawannya yang sebab
umumnya, atau yang seperguruan, yakni sama-sama belajar dari seorang guru, maka
periwayatannya ini disebut riwayatul arqam. Faedah mengetahui riwayat ini
adalah jangan dikira bahwa pada hadis tersebut terdapat kelebihan sanad.
b)
Riwayat al-Mudabbaj
: apabila masing-masing mereka yang saleman tersebut, saling meriwatkan maka
periwayatan yang sedemikian itu disebut riwayatul muddajab. Faedah adalah untuk
menhindari adanya sangkaan, bahwa penyebutan dua orang rawi yang sekawan
tersebut adalah karena silap.
c)
Riwayat
al-Akabbir Ani’ al-Shagir : Adalah
riwayat hadis seorang rawi yang lebih tua usianya atau lebih banyak ilmunya
yang diperoleh dari seorang guru. Faedahnya adalah untuk menghindari
persangkaan bahwa pada sanadnya terjadi pemutarbalikan rawi dan untuk menjauhi
persangkaan kebanyakan orang, bahwa sang guru itu lebih pintar daripada
muridnya.
d)
Riwayat al-shahabah
‘an tabi’in ‘anish-shahabah : adlah periwayatan seorang sahabat yang diterima
oleh seorang guru tabi’in, sedangkan tabi’in ini menerima dari seorang sahabat
pula.
e)
Riwayat al-shabiq :
Apabila dua rawi yang pernah bersama-sama menerima hadis dari seorang guru,
kemudian salah seorang daripadanya meninggal dunia, maka riwayat yang
disampaikan kepada rawi yang oleh meninggal mendahului kawannya itu disebut
dengan riwayat sabiq. Faedahnya adalah untuk mengetahui ketinggian sanad suatu
hadis.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·
Syarat-Syarat
Periwayat Yang Tsiqah, yang harus dipenuhi oleh seorang rawi agar riwayatnya
dapat diterima, antara lain sebagai berikut:
1.
Tamyiz
2.
Perawi
bersifat adil meliputi beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama
Islam, dan memlihara muru’ah (kehormatan)
3.
Perawi
bersifat dhabit.
4.
Tidak
bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
·
Tahammul adalah
menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan
menggunakan beberapa metode tertentu. Sedangkan Al-Ada’ adalah
meyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain.
·
Metode-Metode
Tahammul Wa Al-Ada’ Al-Hadis ada 8 yaitu:
1.
Sama’
(mendengar).
2.
Qira’ah
(membacakan).
3.
Ijazah (memberi
lisensi periwayatan).
4.
Munawalah
(penyerahan).
5.
Kitabah
(menuliskan).
6.
I’lam
(memberitahu).
7.
Washiyyah
(pesan).
8. Al-Wijadah
(penemuan).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Fayyad, Mahmud., Chumaidy,
Zarkasyi.1998.Manhaj Al-Muhadditsin Fil Dhabht As-Sunnah.
Bandung; CV Pustaka
Setua
Amin, Kamarddin, 2009. Menguji
kembali keakuratan metode kritik hadis. Jakarta;PT. Mizan Publika
Ash-Shahih, Shubi. 1995. Membahas
ilmu-ilmu hadis. Makassar; Alauddin Press
Ash-Shiddieqy, Muh. Hasbi.
1987. Pokok-pokok ilmu dirayah hadis. Jakarta; PT. Bulang Bintang
Juinboll, G.H.A, Hasan.
Ilyas.1999. Kontrofersi hadis di Mesir. Bandung; Mizan
Umar, Mustafa. 2011. Antologi
Hadis. Makassar : Alauddin University Press
Ismail,M.Syuhdi. 1992. Metodologi
penelitian hadis Nabi. Jakarta; PT. Bulang Bintang
Motzki, Harald. 2009. Menguji
kembali keakuratan metode kritik hadis. Jakarta; PT. Mizan Publika
Ilyas, Abustani. 2012. Metodologi
penelitian hadis Nabi. Makassar: Alauddin Press
Tahanmul Wal Ada’ al-Hadis Serta Lambang-Lambang (Shigat) Yang digunakan
Reviewed by Karaeng Se're
on
9:26:00 PM
Rating:
No comments: