DISUSUN OLEH :
NURSANTI
15.501.435
J.15
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
MAKASSAR
2016
BAB I
MERENCANAKAN
PEMBANGUNAN
Konstitusi pertamanya diberi nama Undang-undang Dasar
1945,disahkan pasca proklamasi kemerdekaan, juga menjadi tonggak penanda dari
sebuah system ketatanegaraan modern, dalam rangka meraih cita-cita sebagai
negara modern dimasa depan. UUD Tahun 1945 ini menjadi basis fundamental yang berfungsi secara yuridis
bagi penyelenggaraan kekuasaan Negara. Konstitusi ini dimaksudkan sebagai dasar
legal mencapai suatu kehidupan nasional
yamg ideal.
Keberadaan UUD Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis dalam
sejarah bangsa Indonesia ini, dapat pula dianggap sebagai pemisah sejarah
diantara dua fase sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni fase tradisional dan
fase moderen. Fase tradisional yang dimaksudkan adalah fase yang
merepresentasikan sejarah model kekuasaan pemerintahan yang berbasis pada
system kerajaan, khusus sebelum masa kolonialisme. Sementara fase moderen
adalah fase dimana bangsa indonesesia secara dasar menginginkan didirikannya
sebiah organisasi Negara berbasis pada sebuah konstitusi tertulis untuk
mengkonstruksi masa depan masyarakat bangsa di masa datang.
Indonesia sebagai Negara moderen dalam usia belum seabad,
masyarakat bangsa sepanjang usia tersebut, mengisi kemerdekaan dengan
progam-progam pembangunan. Pembangunan yang di selenggarakan oleh pemerintah
merupakan pelaksanaan dari amanat UUD Tahun 1945, bahwa pembangunan yang dilaksanakan
tersebut didasarkan atas arahan norma-norma atau kaidah-kaidah yang terdapat
dalam konstitusi Republik Indonesia.
A. Dua Model Perencanaan Nasional
Model GBHN digunakan sejak awal-awal sejarah pemerintahan
nasional dalam orde lama. Kemudian terus berlanjut, dan nampaknya sangat
dominan pelaksanaannya pada era kepemimpinan Persiden Soeharto sepanjang masa
orde baru. Model RPJPN, yang dianggap sebagai pengganti GBHN, dilaksanakan
dalam sistem ketatanegaraan setelah di adakan terhadap UUD Tahun 1945 pada
Tahun 1999 hingga 2002, dalam empat tahap amandemen.
GBHN dan RPJPN sebagai dua model perencanaan pembangunan
nasional yang bersifat jangka panjang, merupakan panduan pembangunan nasional
di segala bidang kehidupan masyarakat. Sebagai panduan pembangunan oleh
penyelenggara Negara, maka tentu kebijakan tersebut harus dibuat dalam kerangka
Indonesia sebagai Negara hukum, bahwa dua kebijakan pembangunan nasional
tersebut di buat dalam bentuk atau format
yuridis. GBNH pada sepanjang pemerintahan orde baru disusun atau
ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR (TAP MPR), sementara RPJPN di era
pemerintahan reformasi, di rumuskan dalam ketentuan hukum berbetuk
Undang-Undang (UU).
B. Pembangunan
Hukum
Idealnya
pembangunan hukum yang diselenggarakan secara sistemik, haruslah merupakan
penjabaran secara esensial dalam amanat konstitusi, sehingga tujun ideal
pembangunan hukum juga merupakan tujuan yang diinginkan oleh UUD Tahun 1945
sebagai konstitusi tertulis republik ini, dan bukan merukan keinginan-keinginan
sebagai hasil konpromi politis segelintir golongan atau pihak terrtentu saja,
sehingga berkecenderungan merugikan substansi kepentingan nasional yang ada
sebagai nilai-nilai, kaidah dan norma-norma dalam UUD Tahun 1945.
C. Meragukan
Pembangunan Sistem Hukum
Fenomena
hukum sepanjang sejarah moderen Negara Republik Indonesia, dimana telah
diselenggarakan suatu upaya pembangunann hukum yang didahului dengan sebuah
perencanaan, memberikan gambaran yang meragukan apakah cita-cita sistem hukum
yang dikehendaki oleh UUD Tahun 1945 sungguh-sungguh telah terwujud dalam
kenyataannya? Meskipun telah direncanakan pada tataran ideal, dengan menetapkan
rumusan mengenai arah kebijakn pembangunan hukum khususnya dalam bentuk
perencanaan jangka panjang, baik dalam GBHN maupun RPJPN.
Kenyataan
tersebut mewakili fenomena dari pelaksaan hukum di Indonesia, yang dapat di
artikan pula bahwa keberhasilan pembangunan hukum yang dilaksanakan selama ini
belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagaimana dikendaki arah dari kebijakan pembangunan
bidang hukum, yang dirimuskan hampir setiap lima tahun dalam GBHN di era
amandemen UUD Tahun 1945, dan rumusan arah kebijakan pembangunan bidang hukum
dalam RPJPN yang sedang berjalan saat ini.
D. Mengukur
Relevansi Amanat Konstitusi
Salah satu
hal yang mungkin dilakukan adalah dengan mengkaji lebih lanjut relevansi
perencanaan pembangunan nasional yang memuat rumusan arah kebijakan pembangunan
hukum dengan amat konstitusi, mengingat bahwa rumusan kebijakan pembangunan
hukum selalu lebih rendah dari UUD Tahun 1945 sebagai hukum dasar, sehingga
dari segi sifat hirarkis peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, mengharuskan peraturan yang lebih rendah tidak
bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Seluruh
kebijakan yuridis sebagai produk dari lembaga-lembaga Negara dengan kewenangan
yang melekat padanya, memiliki kewajiban normatif untuk menpedomani konstitusi
Republik Indonesia. Sehingga sangat mengkhawatirkan jika kebijakan perencanan
pembangunan nasional secara umum dan khususnya pembangunan bidang hukum bukan
merupakan penjabaran lebih lanjut dari amat UUD Tahun 1945, namun sebuah
motif yang dimasukkan dan mengandung
kepentingan penguasa semata atau kepentingan tertentu lainnya.
BAB II
KONSTITISI,
PEMBANGUNAN HUKUM, PERENCANAAN JANGKA PANJANG
DAN
DIMENSI GAGASAN LAIN
Indonesia adalah Negara moderen berbentuk republik. Operasionalisasi
Negara berdasarkan pada sebuah konstitusi sebagai hukum dasar yang kita namakan
UUD Tahun 1945. Oleh karna itu, Negara Republik Indonesia, dapat disebut
sebagai Negara berdasarkan hukum, sebab norma-norma hukum sudah menjadi syarat
utama bagi diselenggarakannya kekuasaan Negara.
Materi muatan UUD Tahun 1945, mengandung nilai-nilai, kaidah
dan norma-norma yang secara substansial mengandung pedoman dan arahan bagi
proses pembangunan nasional, khususnya pembangunan bidang hukum. Secara khusus
rumusan arah kebijakn pembangunan bidang
hukum dalam kebijakna perencanaan pembangunan nasioanal baik dalam model GBHN
maupun RPJPN yang dibentuk sebagai tanggung jawab Negara dalam mewujudkan tujuan-tujuan ideal Negara, secara
determinan harus dianggap sebagai pelaksanaan amanat UUD Tahun1945
A. Konstitusi
Secara umum
dikenal bahwa konstitusi adalah istilah yang berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara
atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Selain itu, dikenal pula istilah
Undang-undang Dasar. Undang-undang Dasar adalah terjemahan langsung dari
istilah yang berbahasa Belanda (Gronwet).
Kata wet jika diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia berarti Undang-undang. Sedangkan kata grond berarti tanah/dasar. Dari sisi istilah konstitusi atau
Undang-undang Dasar dapat diketahui akar bahasanya berasal dari bahasa Perancis
dan Belanda.
B. Materi Muatan
Istilah
materi muatan untuk pertama kali dipergunakan oleh A. Hamid S. Attamimi,
sebagai terjemahan atau padanan istilah het
onderwerp. Menurut Attamimi materi muatan adalah sebuah peraturan
perundang-undangan Negara dapat ditentukan atau tidak, bergantung pada sistem
pembentukan peraturan perundang-undangan Negara tersebut beserta latar belakang
sejarah dan sistem pembagian kekuasaan Negara yang menentukannya. Oleh karena
itu menurut Attamimi, batas ruang lingkup materi muatan suatu peraturan
perundang-undangan dapat ditentukan oleh sejarah sistem pembentukan dan
pembagian kekuasaan yang ada.
C. Perencanaan Pembangunan
Perencanaan
pembangunan adalah istilah yang secara historis hampir seumur dengan usia
kemerdekaan Negara Indonesia, jika istilah itu dikaitkan dengan sejarah
Indonesia sebuah Negara, khususnya kategori Indonesia sebagai Negara
berkembang. Jika merujuk pada arti kata, istilah perencanaan pembangunan
mengandung dua arti kata, yakni perencanaan yang diartikan proses, cara,
perbuatan merencanakan (merancangkan), dan pembangunan yang diartikan sebagai
proses, cara, perbuatan membangun.
Setiap
perencanaan pembangunan harus mengandung unsur-unsur pokok tertentu, dimana
yang utama diantaranya adalah:
a. Kebijakan dasar atau
strategi dasar perencanan pembangunan,
b. Adanya kerangka rencana
makro,
c. Perkiraan sumber
daya-sumber daya pembangunan khususnya mengenai sumber pembiayaan pembangunan,
d. Uraian mengenai kerangka
yang konstisten,
e. Perencanaan pembangunan
meliputi program investasi yang dilaksanakan secara sektoral,
f.
Perencanaan pembangunan mencakup pula administrasi
pembangunan yang mendukung usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
tersebut.
D. Pembangunan
Hukum
Terdapat
beragam istilah terkait dengan pembangunan hukum yang saling mengidentifikasi arti
satu sama lain, dalam konteksnya sebagai perubahan. Hal ini diutarakan oleh
Sudargo Gautama, bahwa ada berbagai istilah yang ditawarkan untuk mewadahi
pengertian perubahan hukum, seperti pembaharuan, pembangunan, pembinaan, dan
yang akhir-akhir ini sangat popular, modernisasi. Bagimana dan kapan
istilah-istilah tersebut dipakai, tampaknya bergantung pada penglihatan orang
yang menggunakannya. Demikianlah, Sudargo Gautan yang mempersoalkan bagaimana
menyusun suatu tata hukum yang dapat menyusuaikan pada perubahan masyarakat
semenjak kemerdekaan, memilih menggunakan pembaharuan hukum.
Dari segi
fungsi dan peranan, menurut Mordiono, ada 3 peranan dasar pembangunan hukum
dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Peranan tradisional, yakni
menjadi pengayong masyarakat dan member rasa aman,
2. Menciptakan lingkungan dan
iklim yang mendorong kegairahan, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan,
3. Mendukung kemantapan
stabilitas baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun hankam.
E. Dimensi Politik Pembangunan Hukum
Politik dan
hukum atau sebaliknya hukum dan politik, dalam kerangka ilmiah seringkali
diasumsikan bersifat dependen, apalagi keduanya berada dalam ranah keilmuan
yang sama yakni social sience.
Sehingga sering ada pernyataan bahwa “hukum sebagai produk politik” atau
sebaliknya, “politik adalah produk hukum”.
Bila
merujuk pada pengertian pada politik hukum, jelas bahwa politik hukum nasional
dibentuk dalam rangka mewujudkan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia.
Tujuan itu meliputi dua aspek yakni:
1. Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum Nasional
yang dikhendaki.
2. Dengan sistem hukum
nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.
F. Kebijakan
Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip
untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan
konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
G. Kerangka Logis
GBHN dan
RPJPN yang diformat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka rumusan
arah kebijakan pembangunan hukum yang ada pada setiap model perencanaan
pembangunan nasional terssebut, harus dipahami sebagai pelaksanaan dari
konstitusi atau UUD Tahun 1945. Artinya harus terdapat relevansi dalam
perencanaan pembangunan nasional khususnya mengenai rumusan arah kebijakan
pembangunan hukum dengan amanat konstitusi.
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, mengatur mekanisme
penyusunan dan pembentukan kebijakan yang berkenaan dengan perencanaan
pembangunan nasional jangka panjang, baik sebelum maupun setelah amandemen UUD
Tahun 1945. Artinya GBNH dan RPJPN sebagai bentuk kebijakan perencanaan
pembangunan jangka panjang, proses pembentukan atau penyusunannya dilakukan
berdasrkan pola legislasi tertentu, bahwa tentu terdapat norma-norma yuridis
yang harus memandu pelaksanaan penyusunan atau pembentukan GBHN dan RPJPN dalam
sejarah sistem ketatanegaraan Indonesia.
BAB
III
TAPAK
SEJARAH AMANDEMEN KONSTITUSI
Konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia yany diberi sebutan nama
Undang-Undang Dasar 1945, juga merupakan pertanda utama berdirinya sebuah
Negara moderen bangsa Indonesia, tentu tidak haris disakralisasi, sebagaimana
perlakuan kita terhadap kitab suci agama. Oleh karena itu, dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia, konstitusi itu tidak hanya mengalami perubahan namun
juga pergantian konstitusi. Meskipun dalam periode sejarah tertentu, konstitusi
itu mengalami perlakuan sakralisasi politis oleh penguasa pemerintahan, dalam
uat decade yang panjang.
Sejarah moderen Indonesian mencatat, bahwa Negara
Republik Indonesia pernah mengalami
beberapa kali pergantian konstitusi, khususnya di fase-fase awal kemerdekaan.
Situasi nasional yang penuh gejolak politik internal sebagai konsekuensi dari
sebuah Negara yang baru di lahirkan dan kecenderungan pengaruh suatu politik
internasional terhadap kedaan dalam negeri serta ketidakrelaan kaum colonial
melihat kermerdekaan bangsa Indonesia, sangat mempengaruhi perkembangan dan
situasi nasional dalam semua tatanan kehidupannya, termaksuk mengenai pondasi
sistem ketatanegaraan yang akan dijalankan oleh Negara Indonesia yang baru
lahir ketika itu.
Berikut ini adalah
sejarah singkat periodisasi keberlakuan
konstitusi Republik Indonesia dari masa ke masa:
1. Periode berlakunya UUD
Tahun 1945 tanggal 18 Agustus 194 5- 27 Desember 1949. Dalam kurung waktu
1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang
disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
2. Periode berlakunya
Konstitusi RIS 1949 tanggal 29 Desember 1949 - 17 Agustus 1950. Pada masa ini
sitem pemerintahan Indonesia adalh parlementer. Bentuk pemerintahan dan bentuk
negaranya federasi yaitu Negara yang didalamnyaterdiri dari negara-negara
bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.
3. Periode UUDS 1950 tanggal
17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Pada periode UUDS ini diberlakuan sistem
Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini
pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah Negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami
rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD1945.
4. Periode kembalinya UUD
1945 tanggal 5 Juli 1959-1966.karena
situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada
tanggap 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengualkan Dekrit Presiden yang salah
satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
mengganti Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
5. Periode UUD 1945 masa orde
baru pada tanggal 11 Maret 1966 – 21 Mei 1998. Pada masa Orde Baru (1966-1998),
Pemerintah menyatakan akan menjalakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat
“sacral”, diantaranya melalui sejumlah peraturan, salah satunya adalah
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
6. Periode 21 Mei 1998 – 19
Oktober 1999. Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Preseden
Soeharto diganti oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur
dari NKRI.
7. Periode UUD 1945 Amandemen.
Salah satu Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (Amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru,kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan
di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir),
serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara Negara yang
belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD
1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetepkan dalam Sidang Umum
dan Sidang Tahunan MPR:
a. Sidang Umum MPR 1999,
tanggal 14-21 Oktober 1999 adalah Perubahan Pertama UUD 1945,
b. Sidang Tahunan MPR 2000,
tanggal 7-18 Agustus 2000 adalah Perubahan Kedua UUD 1945,
c. Sidang Tahunan MPR 2001,
tanggal 1-9 November 2001 adalah Perubahan Ketiga UUD 1945,
d. Sidang Tahunan MPR 2002,
tanggal 1-11 Agustus 2002 adalah Perubahan Keempat UUD 1945.
Sejarah sistem ketatanegaraan Indonesia modere dapat dikatakan juga adalah sejarah dinamika
keberlakuan konstitusi Negara, dari UUD 1945 Agustus 1945, konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950, UUD 1945 Juli 1959, hingga UUD 1945 hasil amandemem. Dinamika
keberlakuan ragam konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tersebut, menjelaskan
suatu kondisi dan keadaan dimana eksistensi negara bangsa Indonesia belum
menunjukkan kematangan, sebagai layaknya sebuah negara bangsa yang telah
melewati rentang waktu panjang kesejarahan baik sebagai bangsa maupun sebagai Negara.
BAB
IV
DESAIN
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM
Arah
kebijakan adalah istilah yang digunakan dalam perencanaan pembangunan nasional.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata Arah berarti maksud. Dan kata
Kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana, pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen, usaha mencapai sasaran, garis haluan. Maka secara
peristilahan dapat dikatakan arah kebijakan adalah rangkaian konsep atau asas
yang menjadi garis besar sebuah rencana dengan maksud-maksud tertentu yang
bersifat ideal. Kebijakan yang dimaksud adalah konsep atau asas yang terdapat
dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional yang berfungsi sebagai pedoman dan
dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan disegala bidang, terutama,khususnya
pembangunan bidang hukum.
Rumusan
perencanaan pembangunan bidang hukum yang terdapat dalam dokumen perencanaan
pembangunan nasional, baik dalam modelnya sebagai GBHN maupun RPJPN, rumusannya
dalam dalam bentuk kebijakan umum, atau serta terminologis disebutkan sebagai
Arah Kebijakan Pembangunan Hukum. Secara umum dapat dikatakan, dengan
melekatkan pembangunan bidang hukum dalam perencanaan pembangunan nasional, hal
ini menunjukkan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang sedang
membangun mengupayakan secara sinergis pembangunan seluruh bidang kehidupan
nasionalnya agar berjalan secara beriringan untuk mewujudkan tujuan nasional
atau tepatnya tujuan Negara sebagaimana yang dicita-citakan dalam konstitusi.
A. Kebijakan Pada Model GBHN
GBHN dari
segi pendefinisian, dapat diperoleh 3 pengertian, yakni:
1.
GBHN adalah
suatu haluan Negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat
yang pada hakekatnya adalah suatu pola Umum Pembangunan Nasional yang
ditetepkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. GBHN adalah Pola Umum Pembangunan nasional tersebut merupakan
rangkaian program-program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpandu
yang berlangsung secara terus-menerus.
3. GBHN adalah rangkaian program-program pembangunan yang
terus-menerus tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti
termaksud di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Rumusan arah kebijakan pembangunan hukum dalam GBHN dimasukkan dalam salah
satu bagian, khususnya mengenai pola pembangunan lima tahun, atau pada bagian
tertentu mengenai pola pembangunan jangka panjang. Karena pada bagian mengenai
pola dasar/umum pembangunan nasional telah ditentukan tujuan utama pembangunana
ialah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makamur berdasarkan Pancasila
dan UUD Tahun 1945.
B. Kebijakan Pada Model RPJPN
RPJPN lahir sebagai pengganti atas GBHN, merupakan
konsekuensi logis dari amandemen UUD Tahun 1945 dan amanat dari UU No. 25 Tahun
2004 tersebut. RPJPN sebagai model baru perencanaan pembangunan jangka panjang
sesudah model GBHN yang diberlakukuan pada sistem ketatanegaraan sebelum
amandemen UUD Tahun 1945, juga adalah pedoman bagi pembangunan nasional. Format
yuridis RPJPN adalah berbentuk Undang-undang (UU), atau tepatnya UU No. 17
Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasiaonal Tahun
2005-2025. Dalam UU ini menyebutkan defenisi mengenai RPJPN, yakni merupakan
dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 tahun terhitun sejak
tahun 2005sampai dengan tahun 2025.
Rumusan arah
kebijakan pembangunan dalam RPJPN ini, tidak diletakkan pada bidang khusus
hukum, sebagaimana yang ada pada GBHN 1993 sampai 1999, dimana arah kebijakan
pembangunan bidang hukumdirumuskan secara tersendiri. RPJPN memiliki pola
tersendiri sebagai produk baru perencanaan pembangunan nasional yang lahir
dengan smangat reformasi nasional, khususnya apalagi semangat hasil amandemen
UUD 1945, yang secara mendasar banyak merubah sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sehingga substansi, strukturdan proses dalam RPJPN ini sangat jauh berbeda
dengan apa yang pernah terdapat dalam model perencanaan pembangunan nasional
(GBHN) sebelumnya.
C. Merbandingkan
Arah Kebijakan
Perbandingan rumusan arah kebijakan
pembangunan bidang hukum, baik yang terdapat dalam GBHN maupun RPJPN:
1. Rumusan arah kebijakan pembangunan hukum sama-sama diletakkan
dalam suatu dokumen hukum perencanaan pembangunan nasional yang berskala waku
jangka panjang. GBHN berdimensi waktu 25 (dua puluh lima) sampai 30 (tuga
puluh) tahun, yang ditetapkan setiap lima tahun sekali. Sementara RPJPN
berdimensi waktu 20 (dua puluh) tahun.
2. Rumusan arah kebijakan pembangunan bidang hukum sebagai sistem.
Hanya di era GBHN, pembangunan hukum yang mengarah pada sebuah sistem, baru dimulai
pada GBHN tahu 1993.
3. Rumusan arah kebijakan hukum dalam GBHN ditempatkan secara khusus
dalam kehidupan nasional bidang hukum, meskipun dalam GBHN 1873 sampai GBHN
1988 belum bersifat otonom, nanti pada GBHN 1993 bidang hukum baru bersifat
mandiri. Teyapi dalam RPJPN , rumusan arah kebijakan pembangunan bidang hukum
tidak secara khusus ditempatkan dalam bidang hukum, namun dalam satu frasa dari
misi pembangunan nasional, yakni mewujudkan Indonesia demokratis berlandaskan
hukum.
4. Rumusan arah kebijakan pembangunan hukum baik dalam GBHN maupun
RPJPN, meskipun menghendaki pembangunan hukum sebagai sebuah sistem, namun
nampaknya pemanfaatan bidang hukum sebagai alat pembangunan masih kuat
mempengaruhi perumusan arah kebijakan pembangunan hukum tersebut.
BAB V
PEMBANGUNAN HUKUM DAN AMANAT KONSTITUSI
Perencanaan
pembangunan hukum yang diselengarakan oleh penyelenggara Negara tentu tentu
memiliki tujuan-tujuan ideal. Sepanjang penelitian terhadap arah kebijakan
pembangunan hukum, baik dalam dokumen GBHN maupun RPJPN, pembangunan hukum
senantiasa secara normatifharus didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan UUD
Tahun 1945.
Cita hukum
bangsa Indonesia berakar dalam pancasila yang ditetapkan sebagai landasan
kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi Negara
sebagaimanayang dirumuskan dalam UUD Tahun 1945. Pancasila adalah pandangan
hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang
hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia
dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang manusia individual di dalam
masyarakat dan alam semesta. Dengan demikian, cita hukum pancasila harus
mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik
dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh serta penjelasan UUD Tahun 1945, dan
berbagai ketetapan MPR terkait. Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD
Tahun 1945, dengan demikian telah menjadi amanat konstitusi bagi penyelenggara
pembangunan nasional bidang hukum.
A. Kebijakan Pada Model GBHN
Rumusan arah kebijakan pembangunan
hukum pada GBHN 1973, yang menyebutkan bahwa: pembinaan bidang hukum pada GBHN
harus mengarahkan dan menampung kebutuhan hukum menurut kesadaran hukum rakyat
yang berkembang kea rah modernisasi, tercapainya ketertiban dan kepastian hukum
kearah pembinaan kesatuan bangsa dan berfungsi sebagai sarana penunjang
modernisasi dan pembangunan secara menyeluruh.
Rumusan arah kebijakan pembangunan
bidang hukum pada GBHN 1978 yang menyebutkan: pembangunan hukum diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan tingkat kemajuan pembangunan, menciptakan ketertiban
dankepastian hukum untuk memperlancar pembangunan.
GBHN 1988 yang merumuskan arah kebijakan pembangunan
hukum: bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran
dan ketertiban, meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan hukum,
pelayanan dan kepastian hukum dan mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi
pada kepentingan nasional.
GBHN 1993 merumuskan arah kebijakan
pembangunan hukum dalam 3 (tiga) komponen utama, yakni materi muatan, aparat hukum dan sarana dan
prasarana.
GBHN 1998 merumuskan arah kebijakan
pembangunan hukum dalam 5 (lima) komponen utama, yakni komponen materi hukum,
aparat hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum dan hak asasi manusia.
GBHN 1999 mendeskripsikan 11
(sebelas) rumusan arah kebijakan pembagunan hukum, yang dirincikan
gagasan-gagasan pokoknya adalah:
1. Budaya hukum,
2. Supremasi hukum,
3. Negara hukum,
4. Sistem hukum nasional,
5. Menghormati hkum agama dan hukum adat,
6. Kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,
7. Ratifikasi konvensi internasional mengenai hak asasi manusia,
8. Menghargai hak asasi manusia,
9. Integritas moral dan keprofesionalan penegak hukum,
10. Peradilan yang mandiri
11. Peraturan
perundang-undangan yang mendukung perekonomian.
B. Relevansi Kebijakan Dalam RPJPN
Kehadiran RPJPN sebagai model perencanaan
pembangunan nasionaljuga merupakan implikasi dari ditiadakannya GBHN dalam
konstitusi hasil amandemen, dengan tidak lagi member kewenangan kepada MPR
untuk menyusun GBHN. Format ketatanegaraa yang berbasis pada nilai-nilai dan
norma-norma UUD 1945 hasil amandemen memberikan dampak yang luas pada proses
perjalanan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia. Termasuk diantaranya adalah
digantikannya GBHN sebagai model perencanaan jangka panjang dengan model baru
dengan nama RPJPN.
RPJPN memuat rumusan-rumusan
kebijakan pembangunan dalam bentuknya sebagai visi dan misi dalam setiap visi
dan misi itu termuat segala bidang kehidupan nasional, juga termasuk didalamnya
bidabg hukum. Nampaknya keberadaan bidang hukum ditempatkan pada misi
pembangunan nasional, yakni pada frasa Mewujudkan Indonesia yang Demokratis
Berlandaskan Hukum. Hai ini yang membedakan dengan model perencanaan
pembangunan jangka panjang sebelumnya (GBHN), dimana rumusan arah kebijakan
pembangunan ditempatkan dengan mengkategorisasikannya dalam bentuk
pembidangan-pembidangan.
Keberadaan RPJPN ini sebagai model
baru perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, dapat dikatakan adalah
togkat estafeta bagi proses keberlanjutan pembangunan hukum nasional di era
sekarang hingga suatu masa yang akan datang, samapai muncul pola atau model
baru sebagai yang lain sebagai pengganti. Arah kebijakan pembangunan hukum
dalam RPJPN ini berlaku untuk rentang waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak
2005 hingga nanti 2025, artinya implementasi atas arah kebijakan ini telah
berjalan 7 (tujuh) tahun atau satu periode dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) dan sekarang telah masuk untuk periode ke dua RPJM Nasional.
Rumusan arah kebijakan pembangunan
nasional sebagaimana digariskan dalam RPJPN terbagi dalam 5 (lima) komponen
kebijakan pembangunan hukum, yakni komponen umum, komponen materi hukum,
komponen struktur hukum, komponen penerapan atau penegakan hukum dan hak asasi
manusia, dan komponen kesadaran hukum.
C. Perbandingan Relevansi Arah Kebijakan Pembangunan Hukum
Deskripsi mengenai relevansi amanat
UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen terhadap rumusan arah kebijakan
pembangunan bidang hukum baik yang terdapat dalam GBHN maupun RPJPN,
sebagaimana yang telah dilakukan bagian sebelumnya, secara umum dapat dikatakan
bahwa rumusan arah kebijakan tersebut memenuhi amanat UUD 1945 sebelum dan
sesudah amandemen.
Ada sekitar 7 (tujuh) jumlah GBHN
sepanjang 32 (tiga puluh dua) tahun pemerintahan presiden Soeharto yang memuat
garis-garis kebijakan umum mengenai arah pembangunan hukum dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sebelu amandemen UUD Tahun 1945. Paradigma utama yang
dikembangkan pada era tersebut berkenaan dengan pembangunan hukum adalah hukum
sebagai alat perekayasa sosial, yang secara pragmatis diterjemahkan sebagai
hukum adalah alat pembangunan. Paradigma ini nampak sangat mencolok pada hampir
semua kebijakan hukum yang dilakukan pada era perencanaan pembangunan nasional
model GBHN. Sehingga dapat dikatakan bahwa runusan arah kebijakan bidang hukum
berada dalam kerangka besar pembangunan nasional, hal mana berimplikasi pada
pemanfaatan bidang hukum sebagai salah satu penopang atau pendukung proses
pembangunan yang dilakukan, termasuk pula dukungannya terhadap terhadap
capaian-capaian atau hasil-hasil dari proses pembangunan tersebut.
Arah kebijakan pembangunan hukum
dalam RPJPN yang menyangkut komponen materi hukum, secara bersemangat
berkehendak untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang merupakan
warisan kolonial dan menggantikannya dengan bentuk hukum baru yang didasarkan
pada aspirasi dan kebutuhan masyrakat.
BAB
VI
SRATEGI
NORMATIF PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN
Perencanaan
pembangunan nasional dalam sejarah keberadaan Negara Republik Indonesia, telah
menempati posisi strategis dalam upaya pemerintahan Negara mewujudkan cita-cita
atau tujuan dari didirikannya republik ini. Posisi srategi yang dimaksud adalah
nilai urgensi dari perencanaan pembangunan itu sendiri dalam konteks Indonesia
sebagai Negara berkenbang, bahwa pembangunan yang dilaksanakan harus beruoa
sistem sehingga proses dan sasaran-sasaran pembangunan dapat dicapai secara
rasional.
Perencanaan
pembangunan merupakan konsekuensi dari didirikannya nagara Indonesia, dimana
dalam konstitusi Negara telah ditentukan tujuan Negara, sehingga untuk meraih
dan mencapainya tentu harus melewati proses yang logis, dan perencanaan
pembangunan merupakan pilihan yang tidak saintifik atau keilmuan tersendiri.
Pembangunan
nasional, baik yang diselenggarakan pada masam orde lama, orde baru maupun orde
reformasi, dengan demikian, harus dimaknai sebaga amanat dari konstitusi
republic Indonesia. Untu memahaminya lebih jauh, maka perencanaan pembangunan
nasional yang disusun dalam format peraturan perundang-undangan haruslah
relevan dengan amanat UUD Tahun 1945.
Oleh
karenanya untuk memperoleh tingkat relevansi yang tinggi antara apa yang ada
dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai materi perencanaan dalam
segala bidang itu dengan amanat UUD Tahun 1945, maka proses penyusunan
perencanaan pembangunan nasional (GBHN maupun RPJPN) haruslah mengikuti kaidah
atau norma tertentu dalam penyusunannya , dimana kaidah ataupun norma tersebut
dianggap srategis untuk mewujudkan amanat UUD Tahun 1945 dalam rumusan
kebijakan pembangunan nasional.
A. Strategi
Penysunan GBHN
GBHN yang disebut sebagai pola umum
pembangunan nasional, merupakan rangkaian program-program pembangunan disegala
bidang yang berlangsung secara terus-menerus, untuk mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana termasuk dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, disusun dalam bentuk Ketetapan
MPR (TAP MRR). Kedudukan GBHN sebagai TAP MPR berimplikasi pada keterikatan
penyusunan TAP MPR pada kaidah atau norma tertentu sebagai bagian dari sistem
perturan perundang-undangan dalam proses penyusunannya.
B. Strategi
Penyususnan RPJPN
Sesudah amandemen terhadap UUD Tahun
1945 pada paruh awal masa reformasi, sistem ketatanegaraan Indonesia seolah
lahir baru, maksudnya terjadi perubahan signifikan atas sistem ketatanegaraan
secara lebih mendasar. Salah satu dampaknya adalah pada bentuk yuridis atau
model dari perencanaan pembangunan nasional. Jika sebelum amandemen modelnya
adalah GBHN dengan bentuk yuridis sebagai TAP MPR, maka setelah amandemen UUD
Tahun 1945 model yang dikehendaki adalah RPJPN dalam format yuridis sebagai UU.
Keberadaan
RPJPN merupakan konsekuensi dari dihilangkannya kewenangan MPR untuk menyusun
GBHN,, akibat karena kepemimpinan nasional harus dipilih secara langsung oleh
rakyat, dan bukan lagi dipilih oleh MPR. Artinya posisi Presiden bukan lagi
sebagai Mandataris MPR sehingga tidak harus ada pertanggungjawaban mandate
kepada MPR berupa GBHN sebagaimana sebelum amandemen UUD Tahun 1945, karena
keberadaannya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga pertanggungjawabannya juga
harus pada rakyat. Dengan tidak disusunnya GBHN oleh MPR, maka visi dan misi
Presiden terpilih akan menjai materi pokok dalam rencana pembangunan nasional,
dalam hal ini RPJPN. Karena Presidenlah yang meberikan usulan kepada DPR untuk
penyusunan RPJPN, untuk kemudian di format dalam bentuk UU.
Berkenaan
dengan RPJPN sebagai produk perundang-undangan, maka dalam proses
pembentukannya haruslah disandarkan pada norma-norma yuridis. Jika dilihat dari
segi legalitasnya, dapat disebutkan beberapa produk hukum yang dapat dianggap
berkenaan atau berhubungan dengan eksistensi RPJPN sebagai UU. Konteks hubungan
atau kaitan yang dimaksudkan adalah mengenai dua hal pokok menyangkut sebuah
UU, yakni formalitas dan materialitasnya. Beberapa produk hukum sebagai
legalitas tersebut adalah UUD Tahun 1945 hasil amandemen, TAP MPR No.
III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan,
UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebelum direvisi
menjadi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undanagan, dan UU No. 25 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Ketiga sumber legalitas ini dapat dikatakan juga sebagai sumber
normatif bagi proses penyusunan dari perencanaan pembangunan nasional model
RPJPN.
BAB VII
MENCARI DETERMINASI PARADIGMA PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM
Terdapat perbedaan mendasar proses
penyusunan perencanaan pembangunan nasional model GBHN dengan perencanaan pembangunan
nasional dengan model RPJPN. Perbedaan mendasar ini merupakan konsekwensi logis
dari amandemen yang dilakukan terhadap UUD Tahun 1945 dalam sejah perjalanan
Negara dan bangsa Indonesia.
Penyusunan GBHN tunduk pada sistem ketatanegaraan UUD Tahun
1945 sebelum amandemen, dan penyusunan RPJPN harus ikut pada sistem
ketatanegaraan UUD Tahun 1945 sesudah amandemen, khususnya setelah keberlakuan
UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Oleh karena itu dalam rangka pembangunan
sistem hukum nasional yang lebih baik, maka arah kebijakan pembangunan nasional
bidang hukum yang dirumuskan dalam perencanaan pembangunan nasional yang
bersifat jangka panjang, sebaiknya adalah sebuah rumusan yang lahir dari
paradigma pembangunan hukum bersifat ideal yang mencerminkan filosofi Negara,
karakteristik dan kepribadian bangsa Indonesia. Seharusnya ada rumusa umum
mengenai paradigma sistem hukum Indonesia yang dapat menjadi acuan determinatif
bagi proses lebih lanjut secara pragmatis dalam penyusunan grand desain pembangunan hukum.
Dan proses
penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang berdimensi jangka panjang
sebagai dokumen hukum, yang memut rumusan arah kebijakan pembangunan hukum
nasional, status yuridisnya secara hirarkis seharusnya lebih tinggi dari
sekedar UU, karena sifatnya merupaka pedoman bagi presiden yang terpilih. Oleh
karena itu perencanaan pembangunan nasional model GBHN sebaiknya
dipertimbangkan kembali untuk digunakan, dengan dimensi dan substansi yang
berbeda dengan GBHN era orde baru (masa sebelum reformasi) mengingat perubahan
yang terjadi dalam kehidupan nasional maupun internasional kian dinamis.
ringkasan buku tentang GRAND DESAIN PEMBANGUNAN HUKUM
Reviewed by Karaeng Se're
on
5:28:00 AM
Rating:
No comments: