BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
"Saya
ingin menanyakan kepada seluruh anggota, apakah usul menggunakan hak angket terhadap tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat disetujui menjadi hak angket DPR? Setuju?" tanya Fahri Hamzah.
Satu detik kemudian, Fahri langsung mengetok palu yang
ada di depannya.palu tetap menyambar meja meski terdengar suara interupsi dari
para anggota DPR yang hadir. Fahri tak memedulikan.Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota
Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam
persidangan, penyidik KPK Novel
Baswedan
yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam
S Haryani,
mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar
tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP. Dalam rapat paripurna, usulan hak
angket
itu dibacakan anggota Komisi III Teuku Taufiqulhadi. Ia langsung mendapat
sambutan tepuk tangan peserta rapat paripurna. Politisi Partai Nasdem itu
adalah satu dari 26 nama anggota Dewan dari delapan fraksi yang menandatangani
usulan hak angket. Mayoritas adalah anggota Komisi III. Pengambilan
keputusan yang berlangsung sangat cepat tersebut membuat sejumlah anggota DPR
bingung. Beberapa dari mereka menegok kanan-kiri. Tergambar raut wajah yang
heran.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengeluarkan suatu
keputusan yang kontroversial. Lewat ketok palu Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah,
paripurna akhirnya menyetujui hak angket terhadap KPK. Paripurna ini diwarnai
walk out saat hak angket disetujui.Keputusan yang diambil DPR untuk menggunakan
hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu bentuk
intervensi politik yang nyata dari anggota dewan kepada KPK sebagai institusi
penegak hukum. Hak angket terhadap KPK ini disahkan melalui Sidang Paripurna
pada 28 April 2017 silam dan ditandatangani oleh 25 orang anggota DPR RI dari
delapan fraksi.Adapun tujuan disahkannya hak angket terhadap KPK ini berkaitan
dengan permintaan untuk membuka rekaman pemeriksaan dalam kasus korupsi KTP
elektronik.KPK memiliki hak untuk tidak membuka alat bukti pada siapapun,
termasuk kepada DPR, demi kelancaran penyidikan.
Hak angket itu
bermula dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK
terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor
Jakarta. Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura
Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III. Komisi III
mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi
tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan
e-KTP.
Hal ini membuat
Penolakan masyarakat terhadap rencana hak angket Dewan Perwakilan Rakyat untuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin gencar. Berbagai kalangan menggalang
dukungan untuk menggugurkan hak angket itu. Para akademikus dan aktivis
antikorupsi juga mengecam sikap DPR yang ngotot meloloskan usul hak angket.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah KPK dapat
menjadi subjek hak angket DPR.?
2.
Apakah syarat formil
dan materil dalam penggunaan hak angket.?
PENGGUNAAN
HAK ANGKET DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) TERHADAP
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Hak angket DPR
Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebuah hak untuk melakukan
penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memutuskan bahwa pelaksanaan
suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 1954
tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, sekurang-kurangnya 10 orang anggota
DPR bisa menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR. Usulan disampaikan
secara tertulis, disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Usul dinyatakan
dalam suatu rumusan yang jelas tentang hal yang akan diselidiki, disertai
dengan penjelasan dan rancangan biaya. Dalam pasal 177 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
disebutkan bahwa hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima
orang anggota serta lebih dari satu fraksi, disertai dengan dokumen yang memuat
sekurang-kurangnya materi kebijakan pelaksanaan undang-undang yang akan
diselidiki dan alasan penyelidikannya.
Sidang Paripurna DPR dapat
memutuskan menerima atau menolak usul hak angket. Bila usul hak angket
diterima, DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi
DPR. Bila usulan hak angket ditolak, maka usul tersebut tidak dapat diajukan
kembali.
Panitia
angket dalam melaksanakan tugas penyelidikan dengan meminta keterangan dari
pemerintah dan penjabatnya, saksi, pakar, organisasi profesi, semua pihak
terkait lainnya. Bila dalam Sidang Paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan
suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka DPR
dapat menggunakan hak menyatakan pendapat kemudian usul hak angket dinyatakan
selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali.
2.2 Hak angket DPR terhadap KPK
Hak
DPR
Pasal
79
(1) DPR
mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c.
menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan
pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk
menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian
luar biasa yang terjadi di tanah air
atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)
dalam pasal 79 UU No.17 Tahun 2014 di atas telah disebutkan
bahwa salah satu hak DPR adalah merupakan Hak angket. Namun di dalam kasus
antara DPR dan KPK, hak angket
tidak bisa dilakukan oleh pihak DPR kepada KPK. Karena hak angket berlaku hanya
untuk pemerintah dan yang dimaksud selalu eksekutif. Karena di dalam pasal 79
ayat 3 undang-undang MD3 menjelaskan dan menyebut bahwa hak angket untuk
menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Itupun
kebijakan penting dan luar biasa dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan
bangsa dan negara.
Pasal
79 ayat 3 undang-undang MD3 di penjelasannya menyebut bahwa hak angket untuk
menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Kebijakan
penting dan luar biasa juga sangat pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan
negara yang dilakukan oleh presiden, wapres, Polri, jaksa agung dan lembaga
pemerintah non departemen.,itu tidak bisa dijadikan subjek untuk diangket
temasuk KPK. Hak angket sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MD3 adalah hak DPR terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
hal-hal strategis. Karna jika yang melakukan pelanggaran adalah bawahan
Presiden sebagai entitas eksekutif, maka laporan pelaksanaan hak angket akan
diberian kepada Presiden.
Dalam
UU MD3 telah jelas dicantumkan bahwa hak angkat diberikan kepada DPR dalam
rangka 'check and balances' antara Pemerintah dan DPR. Dan juga hak angket KPK
tidak bisa dilanjutkan jika ada fraksi yang tidak setuju. Karena sebagaimana
kita ketahui bahwa tidak semua fraksi menyetujui tentang adanya hak angkaet
tersebut Terhadap partai-partai punya integritas sampai hari ini sudah ada 5
partai yang menolak angket yaitu PKS, Gerindra, Demokrat, PAN dan PKB.
hak angket yang Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat
publik semakin curiga adanya solidaritas untuk melindungi anggota DPR dari
kasus dugaan korupsi pengadan KTP elektronik atau e-KTP. Dalam persidangan di
pengadilan Tipikor Jakarta, sejumlah nama anggota DPR disebut ikut mengancam
anggota DPR Miryam S Haryani agar tidak menyebutkan adanya pembagian uang hasil
korupsi e-KTP.
Banyak
yang berharap hak angket DPR itu urung terwujud lantaran hanya menghabiskan
tenaga, waktu, dan pikiran,karena masih banyak tugas utama KPK dalam
pemberantasan korupsi yang masih belum dikerjakan sampai saat ini. Danjuga
karena hak angket ini membuat KPK kurang fokus untuk mengusut kasus yang sedang
terjadi.
Alasan
kenapa hak angket KPK dikatakan
tidak sesuai karena:
Penyalahgunaan Wewenang
Tujuan
DPR mengajukan hak angket kepada KPK adalah untuk memaksa KPK agar menyerahkan
BAP, dan membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam Haryani. Beberapa anggota
DPR merasa perlu untuk melakukan investigasi terhadap nama-nama anggota DPR
yang disebut oleh Miryam Haryani pada saat yang bersangkutan diperiksa oleh
Penyidik KPK dalam kasus korupsi KTP elektronik. Dengan mengacu kepada Pasal 79
ayat (3) UU No.17/2014 tersebut, maka sebetulnya DPR tidak bisa mengajukan hak
angket terhadap KPK karena KPK sebagai lembaga negara dan penegak hukum sama
sekali tidak melakukan pelanggaran hukum yang bersifat penting, strategis dan
berdampak luas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Selanjutnya,
permintaan DPR kepada KPK untuk menyerahkan BAP dan membuka rekaman pemeriksaan
terhadap Miryam Haryani untuk kemudian di investigasi oleh DPR merupakan suatu
permintaan yang berlebihan dan sudah tidak sejalan dengan tugas pokok dan
fungsi DPR sebagai lembaga legislatif. Permintaan tersebut berlebihan karena
DPR telah meminta KPK untuk menyerahkan dokumen yang terkait substansi pokok
perkara. Dokumen tersebut bukanlah merupakan dokumen publik dan bersifat
rahasia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No.14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No.14/2008) maupun Kode Etik KPK. Hal
tersebut menunjukkan bahwa DPR masih mengedepankan egoisme lembaganya dan
melakukan segala cara termasuk mengintervensi penegak hukum guna membela kolega
dan lembaganya.
Alasan berikutnya yang menjadi dasar bahwa DPR tidak dapat melakukan hak angket terhadap KPK adalah Pasal 3 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30/2002) yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Dengan berpegang pada Pasal 3 UU No. 30/2002 maka intervensi politik yang dilakukan oleh DPR melalui hak angket seharusnya menjadi gugur dan tidak dapat dilanjutkan ke proses berikutnya. Alasan yang dijadikan dasar oleh DPR untuk mengajukan hak angket kepada KPK juga terlalu mengada-ada, dan justru berpotensi menyerang balik DPR karena sebagai lembaga legislatif DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Oleh karena itu hak angket yang digunakan oleh DPR terkesan seperti bentuk perlawanan dari DPR terhadap KPK dikarenakan saat ini KPK sedang berusaha untuk mengungkap kasus korupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak anggota DPR. Apabila hak angket terhadap KPK tetap dilanjutkan maka akan menjadi contoh buruk bagi dunia hukum dan implementasi demokrasi di Indonesia.Hal itu juga menandakan bahwa saat ini kekuasaan legislatif telah terlampau kuat dan luas, bahkan sampai dapat mengintervensi penegakan hukum di Indonesia.
Alasan berikutnya yang menjadi dasar bahwa DPR tidak dapat melakukan hak angket terhadap KPK adalah Pasal 3 Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30/2002) yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Dengan berpegang pada Pasal 3 UU No. 30/2002 maka intervensi politik yang dilakukan oleh DPR melalui hak angket seharusnya menjadi gugur dan tidak dapat dilanjutkan ke proses berikutnya. Alasan yang dijadikan dasar oleh DPR untuk mengajukan hak angket kepada KPK juga terlalu mengada-ada, dan justru berpotensi menyerang balik DPR karena sebagai lembaga legislatif DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Oleh karena itu hak angket yang digunakan oleh DPR terkesan seperti bentuk perlawanan dari DPR terhadap KPK dikarenakan saat ini KPK sedang berusaha untuk mengungkap kasus korupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak anggota DPR. Apabila hak angket terhadap KPK tetap dilanjutkan maka akan menjadi contoh buruk bagi dunia hukum dan implementasi demokrasi di Indonesia.Hal itu juga menandakan bahwa saat ini kekuasaan legislatif telah terlampau kuat dan luas, bahkan sampai dapat mengintervensi penegakan hukum di Indonesia.
Menghalangi Pemeriksaan
Hak
angket yang diajukan oleh DPR kepada KPK ini mencerminkan bahwa saat ini
terdapat kepanikan di Senayan. Para politisi di DPR merasa terganggu dan
terancam dengan penyidikan kasus KTP elektronik yang dilakukan oleh KPK. Salah
satu upaya yang dilakukan oleh DPR adalah dengan mencoba membawa permasalahan
korupsi KTP elektronik dari ranah hukum ke ranah politik dengan menggulirkan
hak angket dan menuntut agar KPK membuka BAP serta rekaman pemeriksaan Miryam
Haryani.
Manuver
politik yang dilakukan oleh DPR dengan menggulirkan hak angket kepada KPK juga
dapat dicurigai sebagai upaya untuk menghambat pemeriksaan dan penyidikan kasus
KTP elektronik yang dilakukan olek KPK. Tindakan gegabah dan kontroversial yang
dilakukan oleh DPR dengan mengajukan hak angket terhadap KPK sebetulnya justru
mencoreng muka institusi DPR sendiri. Secara tidak langsung DPR telah
mengirimkan pesan bahwa mereka tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi di
Indonesia dengan mengajukan hak angket tersebut. Maka, menjadi wajar apabila
saat ini akuntabilitas DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat kembali
dipertanyakan.
Legalitas pansus hak
angket KPK
Pimpinan
DPR dan pimpinan fraksi-fraksi di DPR telah memilih empat orang untuk memimpin
Pansus Angket KPK, dan Pansus juga sudah menggelar rapat perdana pada Rabu
(7/6/2017).Namun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mempertanyakan
keabsahan dan independensi Pansus. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan
saat ini formasi pimpinan dan anggta Pansus dari tiap-tiap fraksi diisi
orang-orang yang punya kaitan atau namanya disebut dalam berkas perkara dugaan
korupsi KTP elektronik. Febri menilai pembentukan Pansus itu hanya untuk
kepentingan golongan tertentu. "Memang ada beberapa nama yang masuk Pansus,
ada pihak yang diduga menerima sejumlah uang. Publik tentunya bisa menilai itu.
Seharusnya lembaga seperti DPR tidak mementingkan kepentingan pribadi. Tapi
bagi KPK, kita masih bicara soal keabsahannya saja dulu. Ini kaitannya dengan
jika nanti Pansus memanggil KPK,",
.Febri
menambahkan, keabsahan persetujuan penggunaan hak angket di sidang paripurna
DPR juga masih dipertanyakan. Menurut Febri, dalam Undang-undang tentang MPR,
DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) pasal 79, hak angket tidak bisa digunakan kepada
lembaga yang sedang menjalankan penyelidikan.UU MD3 Pasal 79 ayat (3) berbunyi:
Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.Dalam penjelasan pasal
79 disebutkan: Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah
dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden,
menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian.
2.3
syarat Formil dan materil hak angket DPR
Peneliti ICW, Donal Fariz
menilai hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara formil dan materil tidak memenuhi syarat
sehingga tak layak untuk diteruskan. , dasar hak angket tersebut juga
sangat lemah. Padahal kata Donal banyak kasus yang perlu diangketkan namun tak
dilakukan oleh DPR.
"Secara syarat formil dan materil
tidak memenuhi syarat sehingga tidak layak diteruskan. Kedua dasar angket
sangat lemah. Korlantas (Korps Lalu Lintas) ada korupsi, kenapa tidak
diangket,"
komisi antirasuah tersebut secara
undang-undang tidak melanggar apapun., dasar angket KPK tersebut sangat lemah,
hak yang telah disahkan tersebut hanya akal-akalan untuk mengganggu kasus E-KTP
yang saat ini menyeret nama ketua DPR RI, Setya Novanto.
"Tidak ada UU yang
dilanggar. Dasar angket lemah dan hanya akal-akalan untuk menggangku kasus
E-KTP. Ada konsekuensi politik di 2019,"
Usulan menjadi hak angket DPR bila mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per
dua) jumlah anggota DPR. Keputusan juga harus diambil dengan persetujuan lebih
dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
"Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah segera mengetok palu sidang untuk mengambil keputusan. Interupsi dari anggota-anggota yang menolak pengambilan keputusan sidang tersebut justru diabaikan. Alhasil, banyak anggota sidang yang walk out dan tidak turut dalam voting yaitu Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, dan Fraksi PKB,". Keputusan ketok palu sepihak Fahri Hamzah tanpa adanya persetujuan anggota disebut ICW tindakan ilegal dan sewenang-wenang "Tindakan wakil ketua DPR yang memutuskan sepihak tanpa adanya persetujuan anggota, merupakan tindakan illegal dan sewenang-wenang. Lebih lanjut lagi, tindakan ini merendahkan hak masing-masing anggota DPR untuk memberikan sikap atas pengajuan hak angket tersebut. Kewenangan pengambilan keputusan bukanlah hak pimpinan, melainkan pada anggota,". karena prosedur formal tidak terpenuhi, maka hak angket cacat hukum dan tidak bisa dilanjutkan. KPK menurut ICW tidak perlu datang ke forum yang ilegal dan cacat hukum tersebut. Hak angket KPK yang berawal dari penolakan pembukaan rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani terkait perkara dugaan korupsi e-KTP. Komisi III melalui perwakilannya membacakan usulan hak angket dalam paripurna penutupan masa sidang.
Hak angket diajukan karena DPR menyoroti kinerja KPK termasuk ketidakpatuhan dalam segi anggaran.
"Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah segera mengetok palu sidang untuk mengambil keputusan. Interupsi dari anggota-anggota yang menolak pengambilan keputusan sidang tersebut justru diabaikan. Alhasil, banyak anggota sidang yang walk out dan tidak turut dalam voting yaitu Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, dan Fraksi PKB,". Keputusan ketok palu sepihak Fahri Hamzah tanpa adanya persetujuan anggota disebut ICW tindakan ilegal dan sewenang-wenang "Tindakan wakil ketua DPR yang memutuskan sepihak tanpa adanya persetujuan anggota, merupakan tindakan illegal dan sewenang-wenang. Lebih lanjut lagi, tindakan ini merendahkan hak masing-masing anggota DPR untuk memberikan sikap atas pengajuan hak angket tersebut. Kewenangan pengambilan keputusan bukanlah hak pimpinan, melainkan pada anggota,". karena prosedur formal tidak terpenuhi, maka hak angket cacat hukum dan tidak bisa dilanjutkan. KPK menurut ICW tidak perlu datang ke forum yang ilegal dan cacat hukum tersebut. Hak angket KPK yang berawal dari penolakan pembukaan rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani terkait perkara dugaan korupsi e-KTP. Komisi III melalui perwakilannya membacakan usulan hak angket dalam paripurna penutupan masa sidang.
Hak angket diajukan karena DPR menyoroti kinerja KPK termasuk ketidakpatuhan dalam segi anggaran.
"Seperti Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Surat Cegah-Tangkal (Cekal) seperti
yang juga dimuat dalam berbagai media. Selanjutnya juga terdapat dugaan
ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian keterangan dalam
proses hukum maupun komunikasi publik,"
Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud
MD menilai sidang paripurna DPR terkait hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) secara formal itu sah jika telah memenuhi korum. Ukuran korum ini tidak
bisa dengan melihat berapa banyak yang walk
out, tapi diukur dari jumlah kehadiran anggota dalam daftar hadir.
"Kalau di bawah korum ya
tidak sah. Tapi kan
itu korum," kata dia saat dihubungi, Senin (1/5).
Mahfud menjelaskan, rapat paripurna dikatakan korum dengan diukur dari daftar hadir, yakni saat anggota dewan menandatangani daftar hadir. Artinya, rapat paripurna tidak bisa disebut tidak memenuhi korum karena banyak fraksi parpol yang walk out.
Mahfud menjelaskan, rapat paripurna dikatakan korum dengan diukur dari daftar hadir, yakni saat anggota dewan menandatangani daftar hadir. Artinya, rapat paripurna tidak bisa disebut tidak memenuhi korum karena banyak fraksi parpol yang walk out.
"Jadi bukan diukur dari
yang walk out.
Daftar hadirnya berapa dulu. Ukurannya daftar hadir. Bukan daftar hadir sesudah
walk out
lalu tidak korum," Karena itu, jika seorang anggota hadir lalu walk out dari rapat
tersebut, maka tetap dinyatakan hadir. Hanya, sikap politiknya saja yang jelas,
yakni menolak hak angket karena telah walk
out."Kalau dia hadir dalam rapat lalu dia walk out ya itu
dianggap hadir. Tapi sikap politiknya jelas. Tapi sudah disahkan begitu, ya
formalnya sudah sah," Seperti diketahui, sidang paripurna pada 28 April
lalu memutuskan untuk terus menggulirkan hak angket terhadap KPK. Namun, dari
sidang paripurna tersebut, tidak diketahui secara pasti total anggota dewan yang
menyatakan setuju.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang saat itu memimpin rapat langsung mengetuk palu meski belum ada kejelasan soal berapa anggota yang setuju menggulirkan hak angket untuk KPK. Karena sudah diketuk palu, sejumlah fraksi keluar dari sidang. Hingga kini hanya diketahui bahwa hak angket KPK tersebut diusulkan oleh 26 anggota DPR dan belum jelas berapa anggota dewan yang saat itu menyatakan setuju.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang saat itu memimpin rapat langsung mengetuk palu meski belum ada kejelasan soal berapa anggota yang setuju menggulirkan hak angket untuk KPK. Karena sudah diketuk palu, sejumlah fraksi keluar dari sidang. Hingga kini hanya diketahui bahwa hak angket KPK tersebut diusulkan oleh 26 anggota DPR dan belum jelas berapa anggota dewan yang saat itu menyatakan setuju.
Dari situs resmi DPR RI,
disebutkan bahwa kehadiran anggota DPR dalam sidang tersebut sebanyak 324
orang. Adapun syarat sahnya hak angket yaitu jika lebih dari setengah anggota
yang hadir menyatakan persetujuannya.
PENUTUP
·
Kesimpulan
Secara
hukum, hak angket yang dikeluarkan oleh DPR itu tidaklah sah, karena
bertentangan dengan UU No.17 tahun 2014 tentang MD3. , hak angket tidak bisa dilakukan
oleh pihak DPR kepada KPK. Karena hak angket berlaku hanya untuk pemerintah dan
yang dimaksud selalu eksekutif. Karena di dalam pasal 79 ayat 3 undang-undang
MD3 menjelaskan dan menyebut bahwa hak angket untuk menyelidiki pelaksanaan
undang-undang atau kebijakan pemerintah. Itupun kebijakan penting dan luar
biasa dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Jadi
menurut saya KPK dalam kasus ini tidak bisa menjadi subjek dari hak angket DPR
tersebut. Banyak anggota DPR mengatakan bahwa hak angket ini untuk menguatkan
KPK, tapi tidak menjelaskan menguatkan KPK dalam hal dan bidang apa. Hal ini
juga memberikan kekeliruan terhadap siapa subjek yang sebenaranya, dan juga
termasuk dalam pembuatan pansus yang dimana tidak diketahui jumlah yang setuju
dan yang tidak setuju.. DPR juga mengeluarkan hak angket karena KPK terbentuk
berdasarkan Undang-undang. Jadi saya berpendapat bahwa DPR dapat membuat hak
angket terhadap lembaga yang berada dibawah/terbentuk oleh undang-undang.
Namun
dalam sisi lain saya juga mengambil kesimpulan bahwa kita melihat bahwa lembaga
KPK ini terlalu bebas, seperti o[erasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK,
sedangkan operatsi tangkap tangan itu sendiri tidak berlaku untuk pihak
komisioner KPK, karena dalam hal ini yang berhak untuk melakukan penyadapan
adalah cumin dari pihak KPK, namun kita tidak mengetahui SOP dari cara
penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Dan bukan tidak mungkin di tubuh KPK bisa
juga terjadi tindak suap-menyuap, belum lagi konflik yang terjadi ditubuh KPK
yang dimana kurang mempercayai hasil audit BPK di beberapa kasus yang terjadi.
Hal lain juga yang membuat KPK istimewa adalah Gaji yang tinggi dan uang
oprasional yang Unlimited
SYARAT
FORMIL DAN MATERIL HAK ANGKET
- Harus sesuai dengan
kesepakatan bersama, tidak boleh denagn keputusan sepihak.
- Tidak boleh cacat
hukum/ harus sesuai denagn ketentuan undang-undang yang berlaku
- Memiliki objek dan
subjek yang jelas
- Penyususnan dan
pembuatan pansus harus jelas
- Tiidak ada indikasi
penyalahgunaan wewenang
Makalah Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Reviewed by Karaeng Se're
on
12:46:00 AM
Rating:
sangat dalam informasi yang diberikan mas, oh iya buat referensi tambahan di blog nya mas kami bisa membantu nih ilmu hukum
ReplyDeleteboleh mas, silahkan ...
Deletedapet nilai berapa mas?
ReplyDelete:d
Kurang tau :D karena langaung di kumpul, emang kenapa mas :D ?
Delete