perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu beserta footnote-nya



     A.   Perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tententu.

1.    Harta warisan anak yang masih dalam kandungan
Dalam hukum islam, bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya, jika muwarrits-nya meninggal dunia, termasuk ahli waris yang berhak menerima bagian warisan, sama seperti ahli waris lainnya. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima hak-hak warisnya apabila bayi lahir dalam keadaan hidup.[1]
Menyangkut kewarisan anak yang masih dalam kandungan ini harus dipenuhi dua persyaratan yaitu:
a)    Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya, pada saat sipewaris meninggal dunia.
b)    bayi yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, sebab hanya orang (ahli waris) yang hidup (pada saat kematian sipewaris) yang berhak untuk mendapat harta warisan.[2]
 
2.    Harta warisan anak zina
Anak zina yaitu anak yang lahir dari hasil perzinaan, atau anak lahir luar perkawinan yang sah menurut ketentuan umat islam. Para ulama berpendapat bahwa akad nikah wanita hamil tersebut tidak sah, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan dengan laki-laki pelaku zinanya.[3]
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat ditegaskan bahwa menurut mayoritas ulama, anak zinah tidak bisa mewarisi “ayah”nya. Karena status hukumnya tidak ada hubungan zasab diantara mereka.anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, dan saudara-saudaranya seibu.

3.    Harta warisan anak Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina, bahwa ia akan menerima laknat SWT., apabila tuduhanyya terhadap istrinya berzinah ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang dituduhkan suami terhadap istrinya itu benar dan kemudian melahirkan anak, maka anak ternsebut dinamakan anak li’an.  Pasal 162 Kompilasi Hukim Islam (KHI), di Indonesia menyebutkan “bilamana Li’an terjadi, maka perkawinan itu pustus untuk selamnya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya[4], sedangkan suamnya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.”

4.    Harta warisan orang yang hilang (al-mafqud)
Al-mafqud adalah orang yang tidak diketahui kabar beritanya karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui pula apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam konteks pewarisan dapat berkedudukan sebaggai al-muwarrits apabila tenyata dalam kepergiannya itu meninggalkan harta, kesementara ahli waris yang lain bermaksud untuk memanfaatkannya. Dapat juga bertindak sebagai ahli waris, manakalah ada saudara atau keluarganya yang meninggal dunia.[5]
Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa:
a)    Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan
b)    Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan
c)    Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan
5.    Harta warisan orang banci ( khuntsa al-musykir)
Khuntsa berasal dari akar kata al-khants, jamakya al-khunatsa artinya lembut atau pecah. Muslich Maruzi mendefinisikan al-khuntasa adalah orang yang diragukan jenis kelaminnya apakah ia laki-laki ataukah perempuan. Pada dasarnya untuk menetapkan berapa bagian yang harus diterima orang banci apabila dimungkinkan adalah mencari kejelasan status dan jenis kelaminnya.[7]
Beberapa cara untuk menentukan besarnya bagian yang akan diterima oleh seorang ahli waris yang banci atau khuntsa
a)    Untuk menentukan beberapa besar bagian dari eseorang yang banci tersebut adalah dengan cara menemukan kejelasan jenis kelamin orang yang bersangkutan (jenis kelamin yang dominan), akan teta[I apabila sulit untuk menentukannya maka para ahli hukum Islam sepakat bahwa untuk menentukan status hukumnya adalah dengan cara mengidentifikasi  idedikasi fisik yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan ( bukan penampilan piksis/kejiwaannya).
b)    cara lain yang dapat dilakukan untuk menentukan bagiannya adalah dengan cara meneliti tanda-tanda kedewasaanya, sebab lazimnya antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan terdapat tanda-tanda kedewasaan yang khas, msalnya kumis, jenggok, suata atau buah dadanya.[8]

6.    Harta warisan orang yang dalam tawanan
Tawanan sebagai terjemahan dari kata asir, berasalh dari kata isar, artinya alat pengikat yang dipakai untuk mengikat tawanan. Dalam pengertian istilah, asir adalah orang yang ditawan karena ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan. Jadi, dari beberapa uraian dapat ditegaskan bahwa apabila tawanan dapat diketahui secara jelas, maka status hukumnya sama dengan orang yang bukan tawanan. Tetapi jika tidak dikeathui keberadaanyya, maka ia diperlakukan sebagai orang yang hilang yang diserahkan kepada keputusan hakim.[9] Dengan demikian dalam persoalan penyelesaian warisan orang yang dalam tawanan ini peran Hakim sangat menentukan, hal ini tentunya setelah terlebih dahulu ditempuh upaya untuk mendapatkan informasi perihal orang yang tertawan tersebut.[10]

7.    Harta warisan orang yang mati serentak
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi suatu peristiwa (seperti bencana alam dan kecelakaan) yang mengakibatkan beberapa orang mati secara serentak, dan tidak jarang pula orang yang mati serentak tersebut adalah orang yang saling waris-mewarisi. Dalam hal kasus seperti ini (mati secara serentak) para ahli hukum islam berpendapat  bahwa diantara mereka “tidak terdapat/tidak boleh saling waris mewarisi”.[11]


[1] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 149
[2] Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafka Offset. 2004. Hlm.61
[3] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 160
[4] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 163
[5] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 168
[6] Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafka Offset. 2004. Hlm.63
[7] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 172
[8] Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafka Offset. 2004. Hlm.68-69
[9] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 179
[10] Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafka Offset. 2004. Hlm.68
[11] Suhrawardi, Komis Simanjuntak, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafka Offset. 2004. Hlm.65
perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu beserta footnote-nya perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu beserta footnote-nya Reviewed by Karaeng Se're on 5:06:00 PM Rating: 5

No comments: