Pembakaran Hutan Prespektif Hukum Pidana pedoman Undang-Undang no. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
Negara sebagai
organisasi kekuasaan yang merepresentasikan rakyat semestinya memberikan
jaminan yang tegas terhadap kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Salah satu
jaminan kehidupan yang layak tersebut salah satunya mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan jaminan konstitusional negara bagi setiap orang yang termaktub
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Meskipun telah mendapatkan jaminan konstitusional tersebut, namun pada tahun 2015, lebih dari tiga bulan kabut asap melanda hampir dua pertiga wilayah Indonesia akibat kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sudah lebih dari tiga bulan pula jutaan manusia didera penderitaan tak terperikan akibat bencana yang dalam 18 tahun terakhir menjadi ritual tahunan itu (Media Indonesia, 8/10/2015).
Meskipun telah mendapatkan jaminan konstitusional tersebut, namun pada tahun 2015, lebih dari tiga bulan kabut asap melanda hampir dua pertiga wilayah Indonesia akibat kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sudah lebih dari tiga bulan pula jutaan manusia didera penderitaan tak terperikan akibat bencana yang dalam 18 tahun terakhir menjadi ritual tahunan itu (Media Indonesia, 8/10/2015).
Bencana kabut asap
telah merusak kualitas udara menjadi tidak sehat bahkan masuk kategori
berbahaya. Akibat dari bencana kabut asap ini, dampaknya tidak hanya dirasakan
di wilayah negara Indonesia, akan tetapi juga dampak tersebut juga dirasakan
oleh negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam.
Tentulah permasalahan bencana kabut asap ini merupakan bencana yang serius
sehingga perlu penanganan yang serius juga dalam hal menghentikan bencana kabut
asab serta dalam hal penegakan hukumnya.
Menurut data yang
dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengenai kebakaran hutan dan lahan
terjadi dikawasan-kawasan yang telah diberikan izin pengelolaan atau
pamanfaatan kepada perusahaan-perusahaan.
Daftar itu hasil
analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Tengah. "Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik
api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit
9.168," kata Edo Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional di Jakarta,
pekan lalu. Dia merinci daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan
lahan, di Kalteng Sinar Mas tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau, anak
usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1),
First Resources (1) dan Provident (1). Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar,
(4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar
Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2)
(www.mongabay.co.id, 6/10/2015).
Jejak Api Korporasi di
Indonesia
Grup-grup Korporasi Penyumbang Asap Karhutla 2015
Grup-grup Korporasi Penyumbang Asap Karhutla 2015
Merujuk kepada data yang dirilis oleh
Walhi tersebut tentu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dikawasan yang
telah diterbitkan izin pemanfaatan dan pengelolaan kepada perusahaan adalah
kontra produktif dengan tujuan idealnya. Sebab Pasal 33 UUD 1945 membawa
semangat mewujudkan kesejahteraan sosial dan khususnya pada ayat ke (4)
menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan dengan asas kekeluargaan dan
prinsip berwawasan lingkungan sebagai rujukan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan (UU Perkebunan) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dengan kata lain hutan dan lahan tidak hanya
memiliki fungsi lingkungan hidup, namun juga memiliki fungsi ekonomi.
Perusahaan-perusahaan yang
semestinya memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara, menjadi
berubah menjadi aktor yang secara langsung maupun secara tidak langsung
merugikan masyarakat dan negara. Selain dampak-dampak negatif terhadap
biodiversitas dan fungsi-fungsi ekosistem hutan, kebakaran hutan dan lahan
telah menimbulkan kerugian jiwa, harta-benda, masalah-masalah kesehatan, dan
lebih jauh lagi mempengaruhi perekonomian nasional dan regional. Dampak negatif
lainnya adalah efek kebakaran hutan terhadap meningkatnya suhu permukaan bumi
(global warming).
Secara umum diketahui
bahwa kebakaran hutan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan
penyiapan lahan untuk berbagai macam bentuk usaha pertanian dan kehutanan
(mulai dari skala kecil seperti perladangan berpindah sampai pada skala besar
seperti pengembangan hutan tanaman industri / HTI serta perkebunan kelapa
sawit, karet, dsb.), yang akibatnya seringkali diperbesar oleh kondisi iklim
yang ekstrem seperti musim kemarau yang panjang (Dicki Simorangkir, 2001:27).
Dengan kata lain,
penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan sangatlah
diperlukan, selain untuk memberikan efek jera bagi pelaku juga untuk mengganti
segala kerugian yang muncul akibat pembakaran hutan dan lahan. UU PPLH mengenal
tiga mekanisme penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan
lingkungan, yakni pendekatan sanksi administratif, pendekatan sanksi perdata
dan pendekatan sanksi pidana. Namun sejauh ini penegakan hukum dengan
menggunakan UU Kehutanan, UU Perkebunan dan juga yang paling umum dengan UU
PPLH selain terasa tidak memberikan efek jera juga tidak memenuhi rasa
keadilan. Untuk lebih lanjut dalam bagian pembahasan akan dibahas adalah
bagaimana menindak pelaku pembakaran lahan dan hutan secara hukum menggunakan
pendekatan dari UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU PPLH. Selain itu juga
menawarkan suatu penegakan hukum baru terkait kebakaran hutan dan lahan
menggunakan pendekatan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor).
Pendekatan penegakan
hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan dengan menggunakan UU Tipikor
sangat didasari atas bagaimana mendahulukan nilai kemanfaatan dalam penegakan
hukum kasus kebakaran hutan dan lahan. Dalam upaya bagaimana mensebandingkan
putusan pidana dengan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan
lahan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum
Lingkungan Kepidanaan
Di kalangan pakar hukum
masih sering terjadi perbedaan pendapat mengenai penggunaan istilah “hukum
pidana lingkungan” dan “hukum lingkungan kepidanaan”. Bagi Andi Hamzah, hal ini
sesungguhnya tidaklah keliru. Menurut beliau apabila kita menulis “hukum
lingkungakn” maka didalamnya ada segi-segi kepidanaan, administrative, dan
keperdataan hukum lingkungan, tetapi ketika kita menulis bagian kepidanaan
saja, maka tidaklah keliru jika kita menggunakan istilah “hukum pidana lingkungan”.
Jadi tergantung dari perspektif mana istilah itu digunakan.
Dalam hal ini akan
digunakan istilah “hukum lingkungan kepidanaan” karena yang dimaksud tidak lain
adalah hukum lingkungan yang memuat aspek-aspek pidana (strafrechtelijk
milieurecht), bukan berbicara pada konteks ilmu hukum pidana pada umumnya.
Hal ini mengingat karena hukum lingkungan sudah merupakan cabang ilmu hukum
baru yang berdisi sendiri dan memiliki banyak segi, salah satuny adalah
kepidanaan.
2. Delik Lingkungan dan
Unsur-Unsurnya
Dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana
dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal
46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai
dengan Pasal 120). Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal tentang
sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci
jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan
hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan
penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana. Atau
dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa
pasal.
Tindak pidana dalam
undang-undang ini merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan
tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan.
Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang
mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa
pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh
pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang
di dalam undang-undang.
Tindak pidana yang
diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil.
Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil dapat
didefensikan sebagai berikut:
- Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin. Dalam hal ini yang diancam pidana adalah “akibat dari perbuatan”, yang termasuk dalam delik materil dalam UU PPLH yaitu Pasal 98, 99, dan 112.
- Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi. Dalam hal ini menunjuk pada “perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”, yang termasuk dalam delik formil dalam UU PPLH yaitu Pasal 100-111 dan 113-115.
Berikut ini dikutip
beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan
beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya
pencemaran lingkungan yaitu pada Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH 2009 merumuskan
delik lingkungan “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena
kelalainnya yang mengakibatkan baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau criteria baku mutu lingkungan hidup” selain itu, perbuatan
itu juga dapat mengakibatkan orang luka atau luka berat dan/atau bahaya
kesehatan manusia atau matinya orang. Sementara itu Pasal 112 merumuskan delik
lingkungan sebagai “kesengajaan pejabat berwenang tidak melakukan pengawasan
yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”.
Kualifikasi delik
formal sebagimana diatur dalam Pasal 100-111 dan 113-115, yaitu :
- melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan (Pasal 100)
- melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan (Pasal 101)
- melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102)
- menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal 103)
- melakukan dumping limbah dan/atau bahan media lingkungan hidup tanpa izin (Pasal 104)
- memasukkan limbah atau limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 105 dan Pasal 106)
- memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 107)
- melakukan pembakaran lahan (Pasal 108)
- melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan (Pasal 109)
- menyusun Amdal tanpa memiliki sertipikat kompetensi penyusunan Amdal (Pasal 110)
- pemberian izin lingkungan oleh pejabat tanpa dilengkapi dengan AMdal atau UKL-UPL atau izin usaha tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan (Pasal 111)
- memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan penrlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 113)
- penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah (Pasal 114);
- mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 115)
3. Sanksi Pidana
Lingkungan
Penerapan delik
lingkungan selalu dikaitkan dengan sanksi pidana, karena secata teoritik sanksi
pidana bertujuan untuk menegakkan norma-norma hukum lingkungan. Sanksi pidana
ini muncul sebagai reaksi atas ketidaktaatan atas norma-norma hukum
(lingkungan).
Ketentuan hukum
lingkungan dalam UU PPLH 2009 dikemukakan beberapa hal:
Pertama, kualifikasi tindak
pidana yang diatur dalam UU PPLH 2009 adalah kejahatan, sehingga tidak ada lagi
sanksi pidana kurungan.
Kedua, karena termasuk
kejahatan maka sanksi pidana dala UU PPLH 2009 meliputi pidana penjara, denda
dan tindakan tata tertib.
Ketiga, Sanksi pidana penjara
denda sangat bervariasi tergantung pada sifat perbuatan dan akibat yang
ditimbulkan. Pidana penjara bervariasi antara 1-15 tahun, sedangkan sanksi
denda dimulai dari Rp. 500.000.000,- sampai Rp. 15.000.000.000,-. Rumusan
sanksi penjara dalam UUPPLH 2009 dapat dikatakan tidak konsisten karena dalam
beberapa pasal diatur sanksi pidana paling lama satu tahun. Ini berarti snaksi
yang dijatuhkan bisa kurang dari satu tahun, sebagaimana karakteristik pidana
kurungan, bukan pidana penjara.
Keempat, dalam UUPPLH 2009
diatur sanksi pidana diatur bagi pejabat yang memberikan izin tanpa memenuhi
syarat, dan juga diatur bagi pejabat yang tidak melakukan pengawasaan terhadapa
ketaatan usaha atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan.
Kelima, pelaku juga dikenakan
sanksi pidana tata tertib sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 119 UU PPLH 2009,
yaitu :
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
- penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha/atau kegiatan;
- perbaikan akibat tindak pidana;
- pewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
- penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penerapan sanksi pidana
penjara dan pidana denda dalam UU PPLH bersifat kumulasi bukan alternative,
bahkan pidana denda diperberat dengan sepertiga.
4. Tanggungjawab
Korporasi
Aktris Julia Roberts
meraih Academy Awards pada tahun 2001 melalui filmnya Erin Brokovich
yang menceritakan tentang seorang paralegal bernama sama dengan judul
film tersebut, yang mengangkat kasus nyata yang terjadi di Amerika Serikat,
dimana perusahaan Pacific Gas and Electric (PG&E Corporation)
yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah
mencemarkan air di daerah tersebut. Perusahaan itu tidak mengumumkannya
tetapi justru meyakinkan para penduduk setempat dengan memberikan laporan
pemeriksaan air di Hinckley yang hasilnya menunjukkan bahwa air di daerah
mereka aman untuk dikonsumsi. Akibatnya, para pengguna air yang telah
terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai meninggal
dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu kasus corporate
crime terbesar dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pembayaran ganti rugi
dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.
Kejahatan korporasi (corporate
crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya
kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang
baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada
yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan
teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta
kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku
di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk
merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money
laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002.
Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai
dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya,
banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak
dapat dikategorikan sebagai crime. [1]
Tindak pidana (crime)
dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian
mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability.
Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban
korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum
pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee
person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates
delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak
dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang
dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian
dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah
pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
Black’s Law Dictionary
menyebutkan kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan
oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena
aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga,
pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang
mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct
of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is
proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide
pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama,
tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku
kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya,
yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua,
baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors),
dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang
dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga,
motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan
pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh
norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi
mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil
di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih
sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual
terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.
Dalam sejarah UU
Lingkungan hidup, UU LH 1982 belum mengenal pidana korporasi, dalam UU LH 1997
barulah mengenal tindak pidana korporasi, sedangkan UUPPLH 2009 tanggungjawab
korporasi diatur dalam Pasal 116, 117 dan 118.
Dalam Pasal 116 UU PPLH
2009, tanggung jawab pidana korporasi dapat diberikan kepada badan usaha;
dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup
kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Dari ketentuan Pasal
116 jelas sekali bahwa tanggungjawab korporasi dapat diberikan kepada badan
hukum itu sendiri maupun pada pengurus badan hukum (corporate excutiffe
officers). Bahkan dalam Pasal 118 sanksi pidana terhadap badan hukum dapat
diberikan kepada pengurus yang berwenang mewakili badan usaha baik didalam
maupun diluar pengadilan. Khusus orang yang memberi perintah atau pemimpin
tindak pidana sanksi pidana ini menurut pasal 117 ditambah sepertiga.
Ketentuan tanggungjawab
korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, memberikan beberapa implikasi
yaitu :
- Badan usaha tidak bisa lepas dari tanggungjawab pidana. Persoalannya adalah apa bentuk tanggungjawab pidana yang utama terhadap korporasi, bukankah sanksi pidana dalam Pasal 119 UU PPLH 2009 adalah pidana tambahan bukan pidana pokok;
- Sanksi pidana terhadap pengurus, terutama yang member perintah atau pemimpin dikenakan sanksi yang diperberat dengan sepertiga. Ketentuan ini berimplikasi bahwa para pengurus harus bertindak hati-hati agar perusahaan tidak melakukan tindak pidana lingkungan hidup;
Menindak Pelaku
Pembakaran Lahan Dan Hutan Secara Hukum Menggunakan Pendekatan Dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 1 ayat (1) UU
PPLH menyatakan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan mahkluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Oleh karena itu anggapan bahwa manusia adalah
mahkluk yang paling berkuasa adalah tidak benar. Faktor penentu keberlangsungan
kehidupan kita tidaklah di tangan kita, sehingga kehidupan kita sangat rentan
(vulnerable) (Niniek Suparni, 1994:8). Namun manusia merupakan makhluk hidup
yang paling besar tanggunjawabnya untuk menjaga keberlangsungan terssebut.
Kasus kebakaran hutan
dan lahan adalah bukti bahwa manusia merupakan aktor paling utama menyumbang
kerusakan bagi alam yang mengancam keberlangsungan kehidupan. Meningkatnya
kebutuhan akibat meningkatnya jumlah populasi manusia akan berdampak kepada
upaya untuk memiliki secara pribadi khususnya terhadap menyangkut kebutuhan
masyarakat banyak. Penerbitan izin terhadap pengelolaan dan pemanfaatan hutan
dan lahan merupakan sebuah langkah ekonomis dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat banyak yang dilaksanakan oleh korporasi. Namun dalam proses
pengelolaan dan pemanfaatan hutan tersebut mulai dari tahap praperizinan, saat
izin telah diterbitkan dan setelah masa berlakuknya izin habis diberikan
batasan-batasan yang jelas.
Batasan-batasan
tersebut diberikan melalui peraturan perundan-undangan yang berlaku agar
meminimalisir segala bentuk ancaman dan risiko terhadap pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup demi terjaganya keberlangsungan kehidupan dan
ekosistem. Akan tetapi fakta tidak dapat dipungkiri ketika bencana kabut asab
yang melanda Indonesia, khususnya pada wilayah Sumatera dan Kalimantan pada
tahun 2015 ini disumbang oleh perusahaan-perusahaan besar dengan Wilmar Group
dan PT Sinarmas sebagai penyumbang tertinggi. Dengan kawasan terpapar bencana
kabut asap yang luas hingga malampaui batas negara tentunya butuh sebuah upaya
kongkrit untuk mengakhiri bencana kabut asap akibat pembakaran lahan dan hutan.
Salah satunya dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan
dan lahan secara pidana, baik individu maupun perusahaan.
Sebagai institusi yang
berwenang, kepolisian telah melakukan proses hukum terhadap perorangan dan
perusahan pelaku pembakaran hutan. Dari data yang dirilis oleh pihak kepolisian
menyatakan:
Polisi telah menetapkan
12 perusahaan sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Hingga
Rabu (7/10/2015) kemarin, berdasarkan data bareskrim Polri, ada 223 tersangka
perorangan dan perusahaan dalam kasus tersebut. Terakhir, polisi menetapkan dua
perusahaan penanam modal asing sebagai tersangka. Dua perusahaan tersebut
adalah PT Antang Sawit Perkasa (PT ASP) dan PT Kayong Agro Lestari (PT KAL).
Dua korporasi di antaranya adalah korporasi PMA (penanaman modal
asing),"…. Kasus PT ASP ditangani Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah,
sementara PT KAL oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Selain dua korporasi
PMA itu, Kepolisian juga telah menetapkan 10 korporasi lainnya sebagai
tersangka. Adapun tersangka perorangan berjumlah 211 orang. Penetapan 223
tersangka perorangan dan korporasi itu berdasarkan 242 laporan polisi dengan
jumlah area terbakar seluas 42.676, 68 hektare. Ia menyebutkan, masih ada kasus
yang dalam tahap penyelidikan yaitu sebanyak 24 kasus. Sementara, dari total LP
yang sudah masuk ke penyidikan, perkara yang sudah dinyatakan P21 sebanyak 23
kasus dan yang sudah masuk ke tahap dua sebanyak 34,"… (www.kompas.com,
8/10/2015).
Tindakan kepolisian
tersebut setidaknya telah menunjukan adanya upaya penegakan hukum terhadap
pelaku pembakaran hutan dan lahan. Sebelumnya telah diumumkan juga oleh Menteri
Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya bahwa beberapa perusahaan telah
dicabut izin usahanya dan sebagian juga dicabut izin operasionalnya. Pertanyaan
kemudian timbul instrumen hukum apa yang hendak dipakai dalam menindak pelaku
pembakaran hutan ketika terdapat tiga undang-undang yang mengatur? Kondisi ini
mirip dengan ajaran utilitarinisme Jeremy Bentham untuk melakukan penegakan
hukum dan menciptakan sebuah keadilan yang dikenal dengan istilah. Bentham
(1879:3) percaya bahwa asas kebahagiaanya itu berlaku baik bagi
tindakan-tindakan individu maupun pemerintah, dan, jika diterapkan pada
pemerintah, hal itu mengisyaratkan bagaimana memaksimalkan kebahagiaan terbesar
bagi sebagian besar masyarakat. Untuk lebih lanjut dapat dilihat bagaimana
ketentuan pidana bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c UU PPLH menyatakan yang dimaksud dengan "kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan" adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c UU PPLH menyatakan yang dimaksud dengan "kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan" adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Meskipun UU PPLH secara
khusus pasal tentang pembakaran lahan pada Pasal 108 yang mana sebagai berikut:
Pasal 108
Setiap orang yang
melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Namun jika menggunakan
penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c tersebut maka penjeratan pelaku pembakaran
hutan dan lahan dapat menggunakan Pasal 98 dan Pasal 99 yang mana sebagai
berikut:
Pasal 98
- Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
- Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
- Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99
- Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
- Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
- Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Sementara apabila
pelakunya merupakan badan usaha atau berkaitan dengan pekerjaan dalam badan
usaha diatur dalam Pasal 116 hingga Pasal 119 yang mana sebagai berikut:
Pasal 116
- Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
- badan usaha; dan/atau
- orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
- Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubunganlain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana
diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan
kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam
dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku
fungsional.
Pasal 119
Selain pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Jika membandingkan data
yang dirilis oleh Walhi dan data yang dirilis oleh Kepolisian memang terlihat
kontras. Sebab yang dipaparkan oleh Walhi menyatakan kabut asap mayoritas
disumbang oleh kebakaran hutan dan lahan di kawasan yang telah diterbitkan izin
bagi perusahaan. Sementara mayoritas oleh Kepolisian menunjukan hanya 12 perusahaan
yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara jumlah tersangka perorangan
menunjukan angka sebesar 211 orang. Terlepas dari jumlah tersangka tersebut,
konsep penegakan hukum pidana yang diatur dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan dan
UU PPLH sangatlah menentukan.
Konsep hubungan
sebab-akibat dalam hukum pidana merupakan bentuk pembuktian apakah benar suatu
tindakan tertentu masuk kategori tindak pidana baik telah menimbulkan kerugian
(delik materil) maupun belum menimbulkan kerugian (delik formil). Ketiga
undang-undang tersebut hanya menganut ajaran melawan hukum materil dimana ada
pidana ketika telah terjadi kerugian. Ajaran ini sejatinya tidak hanya menjadi
penghalang dalam menjerat pelaku sebab baru ada pidana ketika terjadi kesalahan
(delik materil). Padahal dampak dari kebakaran hutan dan lahan bersifat masif
dan melintasi batas negara.
BAB IV
PENUTUP
Dalam rangka menjerat
pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik korporasi dan perorangan, Negara
Indonesia setidaknya memiliki tiga peringkat hukum yaitu Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjeratan hukum tersebut melalui pendekatan
hukum pidana sebenarnya memberikan alternatif untuk menegakan keadilan. Namun
rasanya ketiga undang-undang tersebut dipandang tidak memberikan menjawab rasa
keadilan. Dari perspektif pemikiran Jeremy Bentham bahwa tujuan hukum adalah
memberikan kemanfaatan.
Dalam hukum pidana ini
berarti bahwa penerapan hukum (termasuk pengenaan sanksi pidana) haruslah
membawa manfaat atau kebahagiaan bagi orang banyak. Jika dikaitkan dengan
penerapan hukum dalam perkera demikian, yang seringkali kental nuansa
korupsinya, maka penerapan hukum dengan mengenakan kedua ketentuan yang
dilanggar, apalagi jika diikuti dengan pengenaan pidana yang berat (karena
dianggap meerdaads samenloop), akan mewujudkan kebahagiaan tersebut (Shinta
Agustina, 2014:289). Apalagi dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang tidak
kecil. Pendekatan UU Tipikor dapat dijadikan sebagai pilihan baru untuk dapat
menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan. UU Tipikor bertujuan melindungi
kepentingan negara dalam arti dipulihkannya kerugian keuangan negara, sementara
UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU PPLH melindungi pemanfaatan dan keberadaan
hutan dan lahan secara lestari (Shinta Agustina, 2014:289).
DAFTAR PUSTAKA
- Dicki Simorangkir, 2001, Tinjauan Singkat Kerangka Hukum dan Kelembagaan dalam Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, makalah dalam prosiding seminar sehari dengan tema: Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, Bogor: ICRAF, CIFOR dan Uni Eropa.
- Eric M. Ulsaner, 2008, Corruption, Inequality and the Rule of Law, New York: Cambridge University Press.
- Fajar Sugianto, 2013, Economic Approach to Law: Seri Analisis Ke-ekonomian Tentang Hukum, Seri II, Jakarta: Kencana.
- Ismail Saleh, Serias, 1990, Apa yang Saya Alami: Hukum dan Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- Jeremy Bentham,
1879, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation,London:
Oxford at the Clarendon Press.
Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti: Bandung. - Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Jakarta: Sekretraiat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
- Niniek Suparni, 1994, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika.
- Shidarta, 2013,
Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.
Shinta Agustina, 2014, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Themis Books. - Siswono Yudho Husodo, 2009, Menuju Walfare State, Jakarta: Baris Batu.
- W. Riawan Tjandra, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo.
Pembakaran Hutan Prespektif Hukum Pidana pedoman Undang-Undang no. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Reviewed by Karaeng Se're
on
1:27:00 PM
Rating:
No comments: