Pembakaran Hutan Prespektif Hukum Pidana pedoman Undang-Undang no. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup



BAB I
PENDAHULUAN
Negara sebagai organisasi kekuasaan yang merepresentasikan rakyat semestinya memberikan jaminan yang tegas terhadap kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Salah satu jaminan kehidupan yang layak tersebut salah satunya mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan jaminan konstitusional negara bagi setiap orang yang termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Meskipun telah mendapatkan jaminan konstitusional tersebut, namun pada tahun 2015, lebih dari tiga bulan kabut asap melanda hampir dua pertiga wilayah Indonesia akibat kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sudah lebih dari tiga bulan pula jutaan manusia didera penderitaan tak terperikan akibat bencana yang dalam 18 tahun terakhir menjadi ritual tahunan itu (Media Indonesia, 8/10/2015).

Bencana kabut asap telah merusak kualitas udara menjadi tidak sehat bahkan masuk kategori berbahaya. Akibat dari bencana kabut asap ini, dampaknya tidak hanya dirasakan di wilayah negara Indonesia, akan tetapi juga dampak tersebut juga dirasakan oleh negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam. Tentulah permasalahan bencana kabut asap ini merupakan bencana yang serius sehingga perlu penanganan yang serius juga dalam hal menghentikan bencana kabut asab serta dalam hal penegakan hukumnya.
Menurut data yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengenai kebakaran hutan dan lahan terjadi dikawasan-kawasan yang telah diberikan izin pengelolaan atau pamanfaatan kepada perusahaan-perusahaan.
Daftar itu hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. "Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168," kata Edo Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional di Jakarta, pekan lalu. Dia merinci daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan lahan, di Kalteng Sinar Mas tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1). Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2) (www.mongabay.co.id, 6/10/2015).
Jejak Api Korporasi di Indonesia
Grup-grup Korporasi Penyumbang Asap Karhutla 2015
            Merujuk kepada data yang dirilis oleh Walhi tersebut tentu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dikawasan yang telah diterbitkan izin pemanfaatan dan pengelolaan kepada perusahaan adalah kontra produktif dengan tujuan idealnya. Sebab Pasal 33 UUD 1945 membawa semangat mewujudkan kesejahteraan sosial dan khususnya pada ayat ke (4) menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan dengan asas kekeluargaan dan prinsip berwawasan lingkungan sebagai rujukan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dengan kata lain hutan dan lahan tidak hanya memiliki fungsi lingkungan hidup, namun juga memiliki fungsi ekonomi.
Perusahaan-perusahaan yang semestinya memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara, menjadi berubah menjadi aktor yang secara langsung maupun secara tidak langsung merugikan masyarakat dan negara. Selain dampak-dampak negatif terhadap biodiversitas dan fungsi-fungsi ekosistem hutan, kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan kerugian jiwa, harta-benda, masalah-masalah kesehatan, dan lebih jauh lagi mempengaruhi perekonomian nasional dan regional. Dampak negatif lainnya adalah efek kebakaran hutan terhadap meningkatnya suhu permukaan bumi (global warming).
Secara umum diketahui bahwa kebakaran hutan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai macam bentuk usaha pertanian dan kehutanan (mulai dari skala kecil seperti perladangan berpindah sampai pada skala besar seperti pengembangan hutan tanaman industri / HTI serta perkebunan kelapa sawit, karet, dsb.), yang akibatnya seringkali diperbesar oleh kondisi iklim yang ekstrem seperti musim kemarau yang panjang (Dicki Simorangkir, 2001:27).
Dengan kata lain, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan sangatlah diperlukan, selain untuk memberikan efek jera bagi pelaku juga untuk mengganti segala kerugian yang muncul akibat pembakaran hutan dan lahan. UU PPLH mengenal tiga mekanisme penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan, yakni pendekatan sanksi administratif, pendekatan sanksi perdata dan pendekatan sanksi pidana. Namun sejauh ini penegakan hukum dengan menggunakan UU Kehutanan, UU Perkebunan dan juga yang paling umum dengan UU PPLH selain terasa tidak memberikan efek jera juga tidak memenuhi rasa keadilan. Untuk lebih lanjut dalam bagian pembahasan akan dibahas adalah bagaimana menindak pelaku pembakaran lahan dan hutan secara hukum menggunakan pendekatan dari UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU PPLH. Selain itu juga menawarkan suatu penegakan hukum baru terkait kebakaran hutan dan lahan menggunakan pendekatan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pendekatan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan dengan menggunakan UU Tipikor sangat didasari atas bagaimana mendahulukan nilai kemanfaatan dalam penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan. Dalam upaya bagaimana mensebandingkan putusan pidana dengan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Lingkungan Kepidanaan
Di kalangan pakar hukum masih sering terjadi perbedaan pendapat mengenai penggunaan istilah “hukum pidana lingkungan” dan “hukum lingkungan kepidanaan”. Bagi Andi Hamzah, hal ini sesungguhnya tidaklah keliru. Menurut beliau apabila kita menulis “hukum lingkungakn” maka didalamnya ada segi-segi kepidanaan, administrative, dan keperdataan hukum lingkungan, tetapi ketika kita menulis bagian kepidanaan saja, maka tidaklah keliru jika kita menggunakan istilah “hukum pidana lingkungan”. Jadi tergantung dari perspektif mana istilah itu digunakan.
Dalam hal ini akan digunakan istilah “hukum lingkungan kepidanaan” karena yang dimaksud tidak lain adalah hukum lingkungan yang memuat aspek-aspek pidana (strafrechtelijk milieurecht), bukan berbicara pada konteks ilmu hukum pidana pada umumnya. Hal ini mengingat karena hukum lingkungan sudah merupakan cabang ilmu hukum baru yang berdisi sendiri dan memiliki banyak segi, salah satuny adalah kepidanaan.
2. Delik Lingkungan dan Unsur-Unsurnya
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 120).  Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana.  Atau dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil  dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:
  1. Dellik materil  (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau  perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin. Dalam hal ini yang diancam pidana adalah “akibat dari perbuatan”, yang termasuk dalam delik materil dalam UU PPLH yaitu Pasal 98, 99, dan 112.
  2. Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi. Dalam hal ini menunjuk pada “perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”, yang termasuk dalam delik formil dalam UU PPLH yaitu Pasal 100-111 dan 113-115.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu pada Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH 2009 merumuskan delik lingkungan “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kelalainnya yang mengakibatkan baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku mutu lingkungan hidup” selain itu, perbuatan itu juga dapat mengakibatkan orang luka atau luka berat dan/atau bahaya kesehatan manusia atau matinya orang. Sementara itu Pasal 112 merumuskan delik lingkungan sebagai “kesengajaan pejabat berwenang tidak melakukan pengawasan yang berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”.
Kualifikasi delik formal sebagimana diatur dalam Pasal 100-111 dan 113-115, yaitu :
  1. melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan (Pasal 100)
  2. melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan (Pasal 101)
  3. melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102)
  4. menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal 103)
  5. melakukan dumping limbah dan/atau bahan media lingkungan hidup tanpa izin (Pasal 104)
  6. memasukkan limbah atau limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 105 dan Pasal 106)
  7. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 107)
  8. melakukan pembakaran lahan (Pasal 108)
  9. melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan (Pasal 109)
  10. menyusun Amdal tanpa memiliki sertipikat kompetensi penyusunan Amdal (Pasal 110)
  11. pemberian izin lingkungan oleh pejabat tanpa dilengkapi dengan AMdal atau UKL-UPL atau izin usaha tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan (Pasal 111)
  12. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan penrlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 113)
  13. penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah (Pasal 114);
  14. mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 115)
3. Sanksi Pidana Lingkungan
Penerapan delik lingkungan selalu dikaitkan dengan sanksi pidana, karena secata teoritik sanksi pidana bertujuan untuk menegakkan norma-norma hukum lingkungan. Sanksi pidana ini muncul sebagai reaksi atas ketidaktaatan atas norma-norma hukum (lingkungan).
Ketentuan hukum lingkungan dalam UU PPLH 2009 dikemukakan beberapa hal:
Pertama, kualifikasi tindak pidana yang diatur dalam UU PPLH 2009 adalah kejahatan, sehingga tidak ada lagi sanksi pidana kurungan.
Kedua, karena termasuk kejahatan maka sanksi pidana dala UU PPLH 2009 meliputi pidana penjara, denda dan tindakan tata tertib.
Ketiga, Sanksi pidana penjara denda sangat bervariasi tergantung pada sifat perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Pidana penjara bervariasi antara 1-15 tahun, sedangkan sanksi denda dimulai dari Rp. 500.000.000,- sampai Rp. 15.000.000.000,-. Rumusan sanksi penjara dalam UUPPLH 2009 dapat dikatakan tidak konsisten karena dalam beberapa pasal diatur sanksi pidana paling lama satu tahun. Ini berarti snaksi yang dijatuhkan bisa kurang dari satu tahun, sebagaimana karakteristik pidana kurungan, bukan pidana penjara.
Keempat, dalam UUPPLH 2009 diatur sanksi pidana diatur bagi pejabat yang memberikan izin tanpa memenuhi syarat, dan juga diatur bagi pejabat yang tidak melakukan pengawasaan terhadapa ketaatan usaha atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan.
Kelima, pelaku juga dikenakan sanksi pidana tata tertib sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 119 UU PPLH 2009, yaitu :
  1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
  2. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha/atau kegiatan;
  3. perbaikan akibat tindak pidana;
  4. pewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
  5. penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penerapan sanksi pidana penjara dan pidana denda dalam UU PPLH bersifat kumulasi bukan alternative, bahkan pidana denda diperberat dengan sepertiga.
4. Tanggungjawab Korporasi
Aktris Julia Roberts meraih Academy Awards pada tahun 2001 melalui filmnya Erin Brokovich yang menceritakan tentang seorang paralegal bernama sama dengan judul film tersebut, yang mengangkat kasus nyata yang terjadi di Amerika Serikat, dimana perusahaan Pacific Gas and Electric (PG&E Corporation) yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah mencemarkan air di daerah tersebut.  Perusahaan itu tidak mengumumkannya tetapi justru meyakinkan para penduduk setempat dengan memberikan laporan pemeriksaan air di Hinckley yang hasilnya menunjukkan bahwa air di daerah mereka aman untuk dikonsumsi. Akibatnya, para pengguna air yang telah terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai meninggal dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu kasus corporate crime terbesar dengan penjatuhan sanksi pidana berupa pembayaran ganti rugi dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.
Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan  salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.  Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya.   Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002.  Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya.  Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime. [1]
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa yang akan bertanggungjawab ?  Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurusnya ?
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.  Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. 
Dalam sejarah UU Lingkungan hidup, UU LH 1982 belum mengenal pidana korporasi, dalam UU LH 1997 barulah mengenal tindak pidana korporasi, sedangkan UUPPLH 2009 tanggungjawab korporasi diatur dalam Pasal 116, 117 dan 118.
Dalam Pasal 116 UU PPLH 2009, tanggung jawab pidana korporasi dapat diberikan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Dari ketentuan Pasal 116 jelas sekali bahwa tanggungjawab korporasi dapat diberikan kepada badan hukum itu sendiri maupun pada pengurus badan hukum (corporate excutiffe officers). Bahkan dalam Pasal 118 sanksi pidana terhadap badan hukum dapat diberikan kepada pengurus yang berwenang mewakili badan usaha baik didalam maupun diluar pengadilan. Khusus orang yang memberi perintah atau pemimpin tindak pidana sanksi pidana ini menurut pasal 117 ditambah sepertiga.
Ketentuan tanggungjawab korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, memberikan beberapa implikasi yaitu :
  1. Badan usaha tidak bisa lepas dari tanggungjawab pidana. Persoalannya adalah apa bentuk tanggungjawab pidana yang utama terhadap korporasi, bukankah sanksi pidana dalam Pasal 119 UU PPLH 2009 adalah pidana tambahan bukan pidana pokok;
  2. Sanksi pidana terhadap pengurus, terutama yang member perintah atau pemimpin dikenakan sanksi yang diperberat dengan sepertiga. Ketentuan ini berimplikasi bahwa para pengurus harus bertindak hati-hati agar perusahaan tidak melakukan tindak pidana lingkungan hidup;
Menindak Pelaku Pembakaran Lahan Dan Hutan Secara Hukum Menggunakan Pendekatan Dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 1 ayat (1) UU PPLH menyatakan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahkluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Oleh karena itu anggapan bahwa manusia adalah mahkluk yang paling berkuasa adalah tidak benar. Faktor penentu keberlangsungan kehidupan kita tidaklah di tangan kita, sehingga kehidupan kita sangat rentan (vulnerable) (Niniek Suparni, 1994:8). Namun manusia merupakan makhluk hidup yang paling besar tanggunjawabnya untuk menjaga keberlangsungan terssebut.
Kasus kebakaran hutan dan lahan adalah bukti bahwa manusia merupakan aktor paling utama menyumbang kerusakan bagi alam yang mengancam keberlangsungan kehidupan. Meningkatnya kebutuhan akibat meningkatnya jumlah populasi manusia akan berdampak kepada upaya untuk memiliki secara pribadi khususnya terhadap menyangkut kebutuhan masyarakat banyak. Penerbitan izin terhadap pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan merupakan sebuah langkah ekonomis dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat banyak yang dilaksanakan oleh korporasi. Namun dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hutan tersebut mulai dari tahap praperizinan, saat izin telah diterbitkan dan setelah masa berlakuknya izin habis diberikan batasan-batasan yang jelas.
Batasan-batasan tersebut diberikan melalui peraturan perundan-undangan yang berlaku agar meminimalisir segala bentuk ancaman dan risiko terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup demi terjaganya keberlangsungan kehidupan dan ekosistem. Akan tetapi fakta tidak dapat dipungkiri ketika bencana kabut asab yang melanda Indonesia, khususnya pada wilayah Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2015 ini disumbang oleh perusahaan-perusahaan besar dengan Wilmar Group dan PT Sinarmas sebagai penyumbang tertinggi. Dengan kawasan terpapar bencana kabut asap yang luas hingga malampaui batas negara tentunya butuh sebuah upaya kongkrit untuk mengakhiri bencana kabut asap akibat pembakaran lahan dan hutan. Salah satunya dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan secara pidana, baik individu maupun perusahaan.
Sebagai institusi yang berwenang, kepolisian telah melakukan proses hukum terhadap perorangan dan perusahan pelaku pembakaran hutan. Dari data yang dirilis oleh pihak kepolisian menyatakan:
Polisi telah menetapkan 12 perusahaan sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Hingga Rabu (7/10/2015) kemarin, berdasarkan data bareskrim Polri, ada 223 tersangka perorangan dan perusahaan dalam kasus tersebut. Terakhir, polisi menetapkan dua perusahaan penanam modal asing sebagai tersangka. Dua perusahaan tersebut adalah PT Antang Sawit Perkasa (PT ASP) dan PT Kayong Agro Lestari (PT KAL). Dua korporasi di antaranya adalah korporasi PMA (penanaman modal asing),"…. Kasus PT ASP ditangani Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, sementara PT KAL oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Selain dua korporasi PMA itu, Kepolisian juga telah menetapkan 10 korporasi lainnya sebagai tersangka. Adapun tersangka perorangan berjumlah 211 orang. Penetapan 223 tersangka perorangan dan korporasi itu berdasarkan 242 laporan polisi dengan jumlah area terbakar seluas 42.676, 68 hektare. Ia menyebutkan, masih ada kasus yang dalam tahap penyelidikan yaitu sebanyak 24 kasus. Sementara, dari total LP yang sudah masuk ke penyidikan, perkara yang sudah dinyatakan P21 sebanyak 23 kasus dan yang sudah masuk ke tahap dua sebanyak 34,"… (www.kompas.com, 8/10/2015).
Tindakan kepolisian tersebut setidaknya telah menunjukan adanya upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. Sebelumnya telah diumumkan juga oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya bahwa beberapa perusahaan telah dicabut izin usahanya dan sebagian juga dicabut izin operasionalnya. Pertanyaan kemudian timbul instrumen hukum apa yang hendak dipakai dalam menindak pelaku pembakaran hutan ketika terdapat tiga undang-undang yang mengatur? Kondisi ini mirip dengan ajaran utilitarinisme Jeremy Bentham untuk melakukan penegakan hukum dan menciptakan sebuah keadilan yang dikenal dengan istilah. Bentham (1879:3) percaya bahwa asas kebahagiaanya itu berlaku baik bagi tindakan-tindakan individu maupun pemerintah, dan, jika diterapkan pada pemerintah, hal itu mengisyaratkan bagaimana memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian besar masyarakat. Untuk lebih lanjut dapat dilihat bagaimana ketentuan pidana bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c UU PPLH menyatakan yang dimaksud dengan "kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan" adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Meskipun UU PPLH secara khusus pasal tentang pembakaran lahan pada Pasal 108 yang mana sebagai berikut:
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Namun jika menggunakan penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c tersebut maka penjeratan pelaku pembakaran hutan dan lahan dapat menggunakan Pasal 98 dan Pasal 99 yang mana sebagai berikut:
Pasal 98
  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
  3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99
  1. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
  3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Sementara apabila pelakunya merupakan badan usaha atau berkaitan dengan pekerjaan dalam badan usaha diatur dalam Pasal 116 hingga Pasal 119 yang mana sebagai berikut:
Pasal 116
  1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
    1. badan usaha; dan/atau
    2. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
  2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubunganlain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Jika membandingkan data yang dirilis oleh Walhi dan data yang dirilis oleh Kepolisian memang terlihat kontras. Sebab yang dipaparkan oleh Walhi menyatakan kabut asap mayoritas disumbang oleh kebakaran hutan dan lahan di kawasan yang telah diterbitkan izin bagi perusahaan. Sementara mayoritas oleh Kepolisian menunjukan hanya 12 perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara jumlah tersangka perorangan menunjukan angka sebesar 211 orang. Terlepas dari jumlah tersangka tersebut, konsep penegakan hukum pidana yang diatur dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU PPLH sangatlah menentukan.
Konsep hubungan sebab-akibat dalam hukum pidana merupakan bentuk pembuktian apakah benar suatu tindakan tertentu masuk kategori tindak pidana baik telah menimbulkan kerugian (delik materil) maupun belum menimbulkan kerugian (delik formil). Ketiga undang-undang tersebut hanya menganut ajaran melawan hukum materil dimana ada pidana ketika telah terjadi kerugian. Ajaran ini sejatinya tidak hanya menjadi penghalang dalam menjerat pelaku sebab baru ada pidana ketika terjadi kesalahan (delik materil). Padahal dampak dari kebakaran hutan dan lahan bersifat masif dan melintasi batas negara.



BAB IV
PENUTUP
Dalam rangka menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik korporasi dan perorangan, Negara Indonesia setidaknya memiliki tiga peringkat hukum yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjeratan hukum tersebut melalui pendekatan hukum pidana sebenarnya memberikan alternatif untuk menegakan keadilan. Namun rasanya ketiga undang-undang tersebut dipandang tidak memberikan menjawab rasa keadilan. Dari perspektif pemikiran Jeremy Bentham bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan.
Dalam hukum pidana ini berarti bahwa penerapan hukum (termasuk pengenaan sanksi pidana) haruslah membawa manfaat atau kebahagiaan bagi orang banyak. Jika dikaitkan dengan penerapan hukum dalam perkera demikian, yang seringkali kental nuansa korupsinya, maka penerapan hukum dengan mengenakan kedua ketentuan yang dilanggar, apalagi jika diikuti dengan pengenaan pidana yang berat (karena dianggap meerdaads samenloop), akan mewujudkan kebahagiaan tersebut (Shinta Agustina, 2014:289). Apalagi dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang tidak kecil. Pendekatan UU Tipikor dapat dijadikan sebagai pilihan baru untuk dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan. UU Tipikor bertujuan melindungi kepentingan negara dalam arti dipulihkannya kerugian keuangan negara, sementara UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU PPLH melindungi pemanfaatan dan keberadaan hutan dan lahan secara lestari (Shinta Agustina, 2014:289).


DAFTAR PUSTAKA
  • Dicki Simorangkir, 2001, Tinjauan Singkat Kerangka Hukum dan Kelembagaan dalam Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, makalah dalam prosiding seminar sehari dengan tema: Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera, Bogor: ICRAF, CIFOR dan Uni Eropa.
  • Eric M. Ulsaner, 2008, Corruption, Inequality and the Rule of Law, New York: Cambridge University Press.
  • Fajar Sugianto, 2013, Economic Approach to Law: Seri Analisis Ke-ekonomian Tentang Hukum, Seri II, Jakarta: Kencana.
  • Ismail Saleh, Serias, 1990, Apa yang Saya Alami: Hukum dan Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Jeremy Bentham, 1879, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation,London: Oxford at the Clarendon Press.
    Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti: Bandung.
  • Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Jakarta: Sekretraiat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
  • Niniek Suparni, 1994, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika.
  • Shidarta, 2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.
    Shinta Agustina, 2014, Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Themis Books.
  • Siswono Yudho Husodo, 2009, Menuju Walfare State, Jakarta: Baris Batu.
  • W. Riawan Tjandra, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo.


Pembakaran Hutan Prespektif Hukum Pidana pedoman Undang-Undang no. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembakaran Hutan Prespektif Hukum Pidana pedoman Undang-Undang no. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Reviewed by Karaeng Se're on 1:27:00 PM Rating: 5

No comments: