Dalam suatu kecelakaan yang terjadi, misalnya: kebakaran, kapal tenggelam, dan kapal terbamg jatuh, kadang-kadang terdapat dua orang yang mestinya waris mewarisi kalau sekiranya meninggalnya tidak bersamaa, seperti seseorang dengan anak-anaknya, seseorang dengan saudaranya sedang tidak ada hijab mahjub antara keduanya.
Apabila terjadi demikian dan tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, beberapa sahabat seperti; Abu
Bakar, Umar, Zaid bin Tsabih sepakat bahwa mereka itu tidak saling mewarisi. Harta
pusaka mereka masing-masing dipusakai oleh ahli waris yang masih hidup. Demikian
yang ditetapkannya, dimasa Khalifah Abu Bakar pada perang Yamamah, demikian
pula penetapannya pada masa khalifah Umar terhadap masalah orang-orang yang
terbunuh di al-Harrah dan pada peristiwa wabah Amwas.
Diriwayatkan pula darib Ali RA bahwa beliau
juga menetapkan demikian terhadap orang-orang yang meninggal dipeperangan Al
Jamal dan Shiffin. Inilah yang dipegangi oleh Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dan
Jumhur ulama.
Dasar penetapan demikian ialah bahwa tidak
dapat diketahuinya dengan pasti, siapa yang dulu ,ati diantara mereka itu,
sehingga dianggap mati bersama. Sebagai diterangkan dimuka bahwa syarat ahli
waris berhak menerima pusaka adalah apabila ahli waris tersebut dapat
dipastikan bahwa ia hidup pada waktu muwarritsnya itu meninggal dunia. Pada peristiwa
sebelumnya tidak dapat diketahui siapa yang meninggal lebih dulu, sehingga
tidak dapat ditetapkan siapa yang berhak ditetapkan sebagai ahli waris dan
muwarrits.
Implementasinya dalam contoh, seperti kalau
ada dua satu darah kandung mati terbakar didalam rumah dan masing-masing
meninggalkan seorang anak perempuan, maka harta warisan kedua saudara itu
diwarisi oleh anak perempuan masing-masing dengan jalan fardh dan radg dan
antara kedua saudara itu tidak waris-mewarisi.
Pusaka Orang Yang Meninggal Bersama dalam Komplikasi Hukum Islam
Reviewed by Karaeng Se're
on
10:34:00 PM
Rating:
No comments: