BAB I
Pendahuluan
Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara berdampingan secara horizontal
dengan kekuasaan negara lainnya yang dalam UUD 1945 dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini berarti bahwa UUD 1945 telah menentukan
bahwa kekuasaaan kehakiman memiliki kedudukan sebagai kekuasaan negara yang
implementasinya secara subtantif dipegang oleh Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman serta Mahkamah Konstitusi. Diaturnya kehakiman dalam bab
tersendiri dengan 19 ketentuan dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan negara yang mandiri (otonom) dan tidak ada keharusan
baginya untuk, baik diperintah maupun memerintah, membantu maupun mendampinngi
kekuasaan pemerintahan negara (Hoesein, 2013:78).
Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman jelas berbeda dengan ketentuan yang
mengatur tentang kekuasaan negara lainnya, seperti kekuasaan legislatif dan
eksekutif. Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan negara
berdasar atas hukum. kekuasaan menurut Ibnu Kholdun diartikan
sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian
rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari
pelaku yang mempunyai kekuasaan (Hoesein, 2013:79).
Membicarakan kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari
persoalan, baik penegakan hukum maupun penemuan hukum, karena keduanya
merupakan fungsi dari kekuasaan kehakiman. Persoalan penegakan hukum merupakan
konsekuensi dari prinsip-prinsip yang diatur dalam negara hukum, sehingga kekuasaan
negara diciptakan, diatur, dan ditegakkan oleh suatu perangkat hukum. Pandangan
tersebut sebagai pembatasan dari suatu kekuasaaan negara sehingga terhindar
dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Kedudukan dan
fungsi kekuasaan kehakiman merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan satu
dengan yang lainnya, karena fungsi kekuasaan itu dapat dijalankan jika lembaga
memiliki kedudukan tertentu dalam kekuasaaan (negara), sehingga ia memiliki
kewenangan dan dapat mengimplementasikan secara bertanggung jawab. Hal itu
berarti kedudukan kekuasaan kehakiman juga akan berkaitan dengan kekuasaan
negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan merupakan susunan ketatanegaraan
yang masing-masing memiliki kedudukan, susunan, tugas dan wewenang sebagai
lembaga negara (Hoesein, 2013:78).
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman
atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya
adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung
dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah
Konstitusi. Terlepas dari berbagai kritik yang tak mungkin di hindari haruslah
di akui bahwa pada saat ini dapat di katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam
penegakan supermasi konstitusi; artinya hampir setiap ada masalah konstitusi
masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di sebabkan oleh keberanian
MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang maupun dalam memutus
sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu.
Namun, dari performance MK yang
seperti itu kemudian timbul harapan yang terlalu besar kepadanya sehingga
keraplah masyarakat bertanya dan meminta MK memutus hal-hal yang di luar
kewenangannya. Alasan berpalingnya seseorang kepada MK adalah selain terlalu
banyak berharap kepada MK tanpa tahu persis lingkup kewenangannya dapat juga di
sebabkan oleh adanya masalah pelanggaran hak konstitusional, tetapi tidak ada
instrumen hukum yang jelas untuk menyelesaikan atau memperkarakannya atau tidak
ada penyaluran penyelesaiannya.
Salah satu hal yang menjadi permohonan banyak orang di luar kewenangan MK
adalah tentang Constituional Complaint. ConstitutionalComplain
adalah pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak
ada instrumen hukum atasnya untuk
memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum
(peradilan). Banyak kalangan yang mengusulkan ConstitutionalComplain
untuk ditambahkan sebagai salah satu tugas MK. Akan tetapi dalam hal ini banyak
kalangan yang berbeda pendapat apakah penambahan tugas dan wewenang MK tersebut
harus dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 ataukah cukup melalui revisi di UU
tentang MK. Kemudian masih juga banyak kalangan yang belum sepakat sejauh
manakah ConstitutionalComplain tersebut dapat diterapkan. Kedua
permasalahan inilah yang coba kami angkat dalam makalah kami.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Mahkamah Konstitusi (MK) Sebagai Amanah UUD 1945
Fondasi yang paling tepat dan kokoh bagi sebuah demokrasi berkelanjutan (a
sustainable democrary) adalah sebuah negara konstitusional (constitusional
state) yang bersandar kepada sebuah konstitusi yang kokoh yang dapat
melindungi dirinya dari ancaman, baik dari dalam maupun luar pemerintahan.
Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin demokrasi yang berkelanjutan hanyalah
konstitusi yang mampu mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan
kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan yudisial secara seimbang dan saling
mengawasi (checks and balances), serta memberi jaminan yang cukup luas bagi
hak-hak warga negara dan hak-hak asasi. Konstitusi yang kokoh bagi sebuah constitusional
state yang mampu menjamin demokrasi yang berkelanjutan juga harus merupakan
konstitusi yang legimate, dalam arti pembuatannya harus secara
demokratis, diterima dan didukung sepenuhnya oleh seluruh komponen masyarakat
dari berbagai aliran dan faham, aspirasi dan kepentingan (Fadjar, 2006:6).
Amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia telah memberikan perubahan
di bidang kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar.
Perubahan tersebut diantaranya adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya
mejadi monopoli Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan di bawahnya,
melainkan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Saat ini dapat di katakan bahwa MK
menjadi kiblat dalam penegakan supermasi konstitusi; artinya hampir setiap ada
masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan tersebut di
sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan undang-undang
maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil pemilu.
Pada dasarnya perubahan konstitusi harus berlandaskan pada nilai-nilai
paradigmatik yang timbul dari tuntutan perubahan itu sendiri. Melalui paradigma
perubahan akan dapat dijelaskan perbedaan penting antara konstitusi lama dengan
konsep perubahan yang diinginkan. Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan
prinsip-prinsip penting yang mendasar atau jiwa perubahan konstitusi. Nilai dan
prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun telaah kritis terhadap konstitusi
lama dan sekaligus menjadi dasar bagi perubahan konstitusi atau penyusunan
konstitusi baru (Fadjar, 2006:14).
Amandemen UUD 1945 telah memberikan perubahan di bidang kekuasaan kehakiman
atau kekuasaan yudikatif yang sangat mendasar. Perubahan tersebut diantaranya
adalah kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya mejadi monopoli Mahkamah Agung
dengan badan-badan peradilan di bawahnya, melainkan juga oleh Mahkamah
Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu
kewajiban seprti dalam pasal 24C UUD 1945, yaitu:
1. Menguji UU terhadap UUD 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan hasil pemilu.
5. Wajib memutus pendapat DPR tentang impeachment terhadap presiden.
Selain itu, perubahan
tersebut juga memberikan penegasan
tentang judicial review, yaitu bahwa pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh
MA. Sedangkan untuk pengujian tentang konstitusionalitas undang-undang
dilakukan oleh MK.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, MK mempunyai kedudukan sebagai berikut:
1. Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan keuasaan kehakiman.
2. Merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
3. Sebagai penegak hukum, dan keadilan.
Sedangkan tugas dan
fungsinya adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi
tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara
bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
B. Constitutional Complain Sebagai Wewenang MK
Menurut Mahfudz M.D. (2010:287) ConstitutionalComplain adalah
pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada
instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya
jalur penyelesaian hukum (peradilan). ConstitutionalComplain juga bisa
dilakukan atas adanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
langsung melanggar isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD. Begitu juga bisa
dijadikan objek ConstitutionalComplain adalah putusan pengadilan yang
melanggar hak-hak konstitusional padahal sudah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum ke pengadilan yang lebih
tinggi; misalnya adanya putusan kasasi atau herziening (peninjauan kembali)
dari Mahkamah Agung yang ternyata merugikan hak konstitusional seseorang.
ConstitutionalComplain telah menjadi kewenangan MK di berbagai Negara di antaranya adalah Mahkamah
Konstitusi federal di Negara Jerman. Sebagai Negara federal German menganut
sistem sentralisasi dalam pengujian peraturan perundang-undangan di mana
kewenangan untuk melakukan pengujian hanya dilekatkan pada MK. Wewenang MK
federal dalam memutus perkara ConstitutionalComplain adalah terhadap
pelanggaran hak-hak dasar dalam konstitusi.
Di Negara Indonesia sendiri ConstitutionalComplain belum menjadi
salah satu wewenang di lembaga kekuasaan kehakiman manapun, termasuk MK.
Padahal kebutuhan akan adanya putusan terhadap pelanggaran atas hak-hak
konstitusional warga negara sudah sangat mendesak. Hal ini dikarenakan
konstitusi belum memberikan perlindungan secara menyeluruh terhadap hak
konstitusional warga di karenakan masih terdapat celah hukum. diantara contoh
pelangaran hak konstitusional terjadi pada kasus Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus
menguji pasal 23 ayat 1 UU No. 4 Tshun 2004 yang menyebutkan bahwa peninjauan
kembali (PK) boleh dilakukan oleh jaksa bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 UU
No. 8 Tahun 1981 yang menyebutkan PK hanya oleh terpidana atau ahli warisnya.
Uji materi tersebut tidak dapat mebatalkan putusan MA karena putusan MK
bersifat prospektif (kedepan), sehingga hal ini membatalkan hak konstitusioanl
Pollycarpus. Menyikapi hal ini menurut Mahfudz M.D. yang paling tepat adalah
dengan menggunakan ConstitutionalComplain.
Dalam era pasca reformasi ini dapat di
katakan bahwa MK menjadi kiblat dalam penegakan supremasi konstitusi, artinya
hampir setiap ada masalah konstitusi masyarakat selalu berpaling ke MK. Keadaan
tersebut di sebabkan oleh keberanian MK melakukan ijtihad dalam pengujiaan
undang-undang maupun dalam memutus sengketa kewenangan dan sengketa hasil
pemilu. Namun, dari performance MK yang seperti itu kemudian timbul harapan
yang terlalu besar kepadanya sehingga keraplah masyarakat bertanya dan meminta
MK memutus hal-hal yang di luar kewenangannya. Padahal dari sudut konstitusi MK
sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk menilai hal-hal tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 24c UUD 1945 MK hanya berwenang melakukan pengujiaan
undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa antar lembaga negara yang
kewenangannya di atur dalam UUD, memutus sengketa hasil pemilu, dan memutus
pembubaran parpol; sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan
(impachment) DPR bahwa presiden/ wakil presiden telah melanggar hal-hal
tertentu di dalam UUD 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden/wakil presiden.
Alasan berpalingnya seseorang
kepada MK adalah selain terlalu banyak berharap kepada MK tanpa tahu persis lingkup
kewenangannya dapat juga di sebabkan oleh adanya masalah pelanggaran hak
konstitusional, tetapi tidak ada instrumen hukum yang jelas untuk menyelesaikan
atau memperkarakannya atau tidak ada penyaluran penyelesaiannya. Dalam kasus
ini, misalnya, tidak jelasnya Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri atau
lebih dapat di perkarakan ke mana. Jika akan di bawa ke MA melalui pengujian
yudisial peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur dalam UU No. 10 Tahun
2004; jika akan diperkarakan melalui PTUN juga kurang tepat karena isi SKB tersebut dapat di nilai
sebagai pengaturan (bukan penetapan) karena ada muatannya yang bersifat umum.
Sedangkan dari sudut konstitusi MK juga sama sekali tidak mempunyai kewenangan
untuk menilai SKB tersebut atau menjadi keputusan Bokerpakem atau Fatwa Majlis
Ulama Indonesia. Maka seperti dalam kasus SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah
kemudian banyak menimbulkan polemik diantara banyak pihak.
Melihat pada permasalaha diatas maka sudah sepatutnya
kalau ConstitutionalComplain dimasukkan sebagai salah satu wewenang MK.
Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan yang berhubungan dengan hak-hak
konstitutional warga negara ternyata belum semuanya dapat diselesaikan melalui
kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama kewenangan Judicial Review.
Oleh karena itu ConstitutionalComplain dapat dijadikan solusi terhadap
kekurangan dan kelemahan yang dimiliki MK dalam memutus perkara yang
berhubungan dengan hak konstitutional warga negara.
Dalam hal ini terdapat pandangan banyak pihak, apakah kewenangan tersebut
dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 atau ke dalam revisi UU MK. Pihak yang
mengusulkan ConstitutionalComplain menjadi tambahan kewenangan MK dan
masuk dalam amandemen UUD 1945 diantaranya Mahfudz MD. Beliau berpandangan bahwa
ConstitutionalComplain berhubungan erat dengan permasalahan hak-hak
dasar warga negara, sehingga patut untuk dimasukkan dalam UUD 1945. Sedangkan
pihak yang mengusulkan ConstitutionalComplain cukup masuk dalam revisi
UU MK berpendapat bahwa kewenangan tambahan MK tersebut cukup dimasukkan dalam
revisi UU MK. Hal ini disebabkan karena mengamandemen konstitusi sangatlah
sulit, serta harus memperhatikan struktur, faktor kulrtural dan kondisi negara
bersangkutan. Sehingga ConstitutionalComplain cukup masuk dalam revisi
UU MK, tidak melalui amandemen UUD 1945 (Hukum Online, 2008:1).
Melihat pada pendapat-pendapat diatas kami lebih setuju bahwa ConstitutionalComplain
seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Hal ini dikarenakan karena ConstitutionalComplain
berhubungan erat dengan hak dasar konstituional warga negara dan harus ada
pada kewenangan MK, serta sejajar dengan kewenangan MK yang lain yang sudah
termaktub dalam UUD 1945. Selain itu juga permasalahan yang ada selama ini
belum semuanya dapat diselesaikan dengan melalui kewenangan yang dimiliki MK
selama ini, terutama kewenangan Judicial Review.
Akan tetapi jika kewenangan memutus ConstitutionalComplain diberikan
kepada MK dengan cara dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 maka akan membutuhkan
waktu yang sangatlah lama. Belum tentu dalam kurun waktu sepuluh tahun yang
akan datang akan terjadi amandemen UUD 1945. Apalagi jika amandemen hanya
bertujuan untuk memasukkan kewenangan memutus ConstitutionalComplain,
maka akan semakin sulit. Selain itu juga mengamandemen konstitusi harus
memperhatikan struktur, faktor kulrtural dan kondisi negara bersangkutan.
Faktor politis pun juga perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan amandemen.
Maka jalan yang lebih mudah untuk ditempuh adalah dengan cara memasukkan
kewenangan MK dalam memutus ConstitutionalComplain dalam revisi UU MK.
Merivisi UU tidaklah sesulit mengamandemen konstitusi dasar Indonesia.
Dalam hal ini kami berpandangan bahwa untuk mempercepat warga negara
mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak konstitutionalnya, maka tambahan
kewenangan MK dalam memutus ConstitutionalComplain lebih baik dimasukkan
terlebih dahulu dalam revisi UU MK. Melakukan revisi UU MK dengan alasan yang
sangat mendesak ini serta menghindari adanya kekosongan tidak akan terlalu
membutuhkan waktu yang sangat lama serta proses yang sulit dibandingkan jika
melakukan amandemen UUD 1945. Akan tetapi ini bukan berarti kewenangan memutus ConstitutionalComplain
tidak perlu dimasukkan dalam UUD 1945. Tambahan kewenangan ini harus
sejajar dengan kewenangan-kewenangan MK yang sudah termaktub terlebih dahulu.
Oleh karena itu, jika suatu saat nanti amandemen UUD 1945 dilakukan maka
kewenangan memutus ConstitutionalComplain juga harus ikut dimasukkan.
Akan tetapi, sebelum amandemen itu ada maka harus dilakukan terlebih dahulu
revisi UU MK yang salah satu tujuannya untuk menambahkan kewenangan MK dalam
memutus ConstitutionalComplain untuk menjamin hak-hak konstitutional
warga negara.
C. Menggagas Obyek Constitutional Complain
Mahkamah konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
diharapakan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam menegakkan hukum
dan keadilan. Melalui lima kewenangan konstitusional yang dimilikinya, MK harus
mengawal UUD 1945 dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan negara
demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian
of the constitution), MK juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the
sole interpreter of constitution) (Fadjar, 2006:119).
Untuk menlengkapi dan memaksimalkan tugas dan wewenang MK
sebagai penjaga dan penafsir tertinggi konstitusi, maka adanya ConstitutionalComplain
menjadi sebuah keharusan yang ada pada wewenang MK. Akan tetapi dalam hal
ini perlu difikirkan pula hal mana sajakah yang
dapat dijadikan sebagai obyek dari ConstitutionalComplain. Jangan
kemudian kewenangan tambahan yang urgent tersebut diberikan tanpa
batasan dan aturan yang jelas.
Apabila melihat pada pengertian yang dikatakan oleh
Mahfudz, MD., maka bisa dilihat dua hal yang menjadi obyek dari permohonan ConstitutionalComplain
tersebut. Kedua hal tersebut adalah:
1. Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada
instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya.
2. Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak
tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan).
Kedua hal diatas
merupakan pijakan dasar yang dapat digunakan untuk membatasi obyek perkara mana
sajakah yang masuk dalam lingkup ConstitutionalComplain.
Selain harus harus memahami obyek mana sajakah yang
menjadi kewenangan dalam ConstitutionalComplain, juga perlu diberikan
pula adanya aturan dan batasan yang jelas. Aturan dan batasan ini dapat
dikatakan juga sebagai syarat apakah suatu perkara tersebut dapat dikatan
sebagai obyek komplain hak konstitusional ataukah tidak. Aturan dan batasan ini
bisa dilihat dalam peranturan perundang-undangan yang sudah ada. Diantara
aturan dan batasan yang dapat kami simpulkan adalah:
1. ConstitutionalComplain berhubungan erat dengan pelanggaran hak
konstitusional warga negara yang tidak ada instrumen hukum untuk
menyelesaikannya atau tidak lagi tersedia jalur penyelesaian hukum. Ini harus
dipahami bahwa setiap warga negara memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin
oleh Undang-undang Dasar, dan ketiadaan instrumen hukum bukan kemudian menjadi
alasan seseorang untuk tidak bisa mendapatkan keadilan.
2. ConstitutionalComplain harus lah terhadap perkara yang berupa
pelanggaran langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia. Ini harus
dipahami bahwa obyek perkara harus bersinggungan langsung dengan hak-hak
konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945, bukan masalah yang
bersinggungan dengan undang-undang di bawah konstitusi. Selain itu juga dapat
dipahami bahwa peraturan di bawah Undang-undang pun jika bertentangan secara
langsung dengan konstitusi dapat dijadikan sebagai obyek ConstitutionalComplain,
walaupun tidak secara langsung bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Hal
ini dikarenakan lembaga kekuasaan kehakimanb yang diberikan wewenang sebagai
penafsir konstitusi hanyalah Mahkamah Konstitusi.
3. ConstitutionalComplain merupakan jalan terakhir yang diajukan
setelah tidak tersedia lagi penyelesaian terhadap perkara tersebut. Perlu
dipahami bahwa jalan terakhir yang dimaksud disini bukan hanya melalui
penyelesaian hukum di pengadilan, tetapi juga melalui penyelesaian lain di
lembaga legislatif melalui legislatif review dan penyelesaian di lembaga
eksekutif melalui executive review.
Untuk aturan dan
batasan yang terakhir ini memang harus dicantumkan. Hal ini disebabkan bahwa ConstitutionalComplain
merupakan langkah terakhir dari adanya beberapa proses yang telah dilalui
sebelumnya. Selain itu ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah kontrol normatif
dalam menciptakan sebuah peraturan.
D. LegislatifReview dan ExecitiveReview Sebagai Syarat ConstitutionalComplain
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang menjadi obyek dari ConstitutionalComplain
adalah semua pelanggaran terhadap langsung terhadap konstitusi dasar negara
Indonesia. Ini harus dipahami bahwa obyek perkara harus bersinggungan langsung
dengan hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945, bukan masalah
yang bersinggungan dengan undang-undang di bawah konstitusi. Selain itu juga
dapat dipahami bahwa peraturan di bawah Undang-undang pun jika bertentangan
secara langsung dengan konstitusi dapat dijadikan sebagai obyek ConstitutionalComplain,
walaupun tidak secara langsung bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Hal
ini dikarenakan lembaga kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang sebagai
penafsir konstitusi hanyalah Mahkamah Konstitusi.
Untuk menghindari menumpuknya persoalan di MK hanya karena sebuah perkara
bertentangan dengan konstitusi atau hak kontitusional warga negara, maka harus
disyaratkan pula bahwa ConstitutionalComplain merupakan jalan terakhir
yang telah dilalui sebelumnya penyelesaian hukum yang lain. Penumpukan perkara
seperti ini telah terjadi di Mahkamah Konstitusi Federal negara Jerman
yang mana merupakan satu-satunya lembaga
kekuasaan kehakiman yang diberikan wewenang untuk menyelesaikan semua persoalan
sengketa perundang-undangan dan konstitusi. Oleh karena itu perlu dipandang
pula bahwa legislativereview dan executivereview merupakan
langkah penyelesaian yang sudah harus ditempuh oleh seseorang sebelum orang
tersebut mengajukan ConstitutionalComplain. Hal ini juga berfungsi
sebagai sebuah kontrol normatif terhadap sebuah peraturan yang diperkarakan.
Legislative review merupakan bagian proses politik di bidang peraturan perundang-undangan dan
lebih dipengaruhi oleh faktor politik sehingga proses perubahan produk hukum
tersebut tidak dilakukan melalui proses judicial atau dalam koridor
normatif yang biasa dijalankan oleh lembaga kekuasaan kehakiman, melainkan
melalui proses politik oleh lembaga politik. Peraturan perundang-undangan yang
diputuskan dan/atau ditetapkan untuk dicabut oleh pembuatnya, maka secara
otomatis pada saat diputuskan/ditetapkan tidak berlaku lagi, dan pada saat
bersamaan lembaga pembuatnya menerbitkan peraturan yang baru. Berbeda dengan judicial
review, bahwa setiap ketentuan perundang-undangan yang diputus oleh badan kekuasaan kehakiman,
maka ketentuan tersebut tidak berlaku lagi, tetapi badan kekuasaan kehakiman
tidak memutuskan berlakunya peraturan baru, karena tidak memiliki kewenangan (original
jurisdiction) sebagai badan pembuat undang-undang (Hoesein, 2013:61).
Demikian pula excutive review diartikan sebagai penilaian atau pengujian
peraturan perundang-undangan oleh pihak eksekutif, artinya segala bentuk produk
hukum pihak eksekutif diuji oleh pihak eksekutif baik kelembagaan dan
kewenangan yang bersifat hierarkis. Dalam istilah yang sama juga diperkenalkan
istilah “kontrol internal”yang dilakukan oleh pihak sendiri terhadap produk
hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk pengaturan (regeling) maupun
penetapan (beschikking). Akan tetapi, jika kontrol normatifnya dilakukan
oleh badan lain dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara, maka hal tersebut
bukan executive review, melainkan kontrol segi hukum (legal control).
Dalam hal hubungan ini, maka objek executive review lebih terhadap
keputusan yang bersifat abstrak dan mengatur, serta mengikat secara umum atau
dikenal dengan “regeling”, dan diluar itu yakni yang bersifat “beschikking”
menjadi objek legal control peradilan tata usaha negara. Dengan demikian
semua tindakan atau perbuatan administrasi negara yang dijalankan oleh
pemerintah dapat dikontrol oleh hukum baik secara internal (executive review)
atau secara eksternal, yaitu oleh badan kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini
adalah peradilan tata usaha negara (Hoesein, 2013:62).
Dalam hubungannya dengan executive review, maka objeknya adalah
peraturan dalam kategori regeling yang dilakukan melalui pendekatan
“perubahan” sebagai ketentuan atau melalui pendekatan “pencabutan” peraturan
tertentu dan menggantinya dengan
peraturan baru. pengujian internal ini disebabkan oleh perubahan norma hukum
diatasnya yang berubah, yakni undang-undangnya berubah atau perubahan sosial
yang tidak diantisipasi oleh peraturan tersebut dan menghendaki untuk diubah.
Oleh karena itu, pengujian internal dalam arti executive review ini
dilakukan untuk menjaga peraturan yang diciptkan oleh pemerintah (eksekutif)
tetap sinkron, dan konsisten segi normatifnya secara vertikal dan terjaga pula
tertib hukumnya dan kepastian hukum, agar rasa keadilan masyarakat atas
perubahan sosial-ekonomi (Hoesein, 2013:63).
E. Praktek ConstitutionalComplaindi
Negara-negara barat
Memang ada sesuatu yang
mirip kewenangan MK atas pengujian undang-undang (judicial review) dengan CC
pada obyek yang sama yakni undang-undang. Meski obyek CC lebih luas dari
undang-undang karena mencakup seluruh produk perundang-undangan. Pengujian undang-undang
dapat hingga membatalkan suatu ketentuan dalam undang-undang tersebut.
Sementara CC hanya sebatas memulihkan hak konstitusional pemohon atau adanya
konstitusional bersyarat. Dengan CC, peraturan perundang-undangan tetap
diberlakukan sesuai asas erga omnes (berlaku untuk seluruhnya) kecuali bagi
mereka yang dianggap menderita kerugian atas berlakunya peraturan
perundang-undangan tersebut.
Beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi dan punya wewenang memeriksa perkara CC antara lain Jerman, Spanyol, Afrika Selatan, Korea Selatan, Azerbaijan, Bavaria dan Kroasia. Oleh karena itu alangkah baiknya melihat bagaimana penerapan CC di negara-negara tersebut sebagai “studi perbandingan”. Khususnya Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts).
Di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi termasuk tujuh negara di atas, kewenangan MK pada pokoknya hanya tiga: (1) pengujian undang-undang dengan konstitusi; (2)memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara; dan (3) constitutional complaint. Sedangkan kewenangan seperti memutus sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik hanya bersifat aksesoris.Sementara MK di Indonesia ada lima kewenangan dengan meniadakan constitutional complaint dan menambahkan kewenangan memutus perkara pemakzulan Presiden/Wakil Presiden. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran MK pasca pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR. Sehingga MK dimaksudkan juga untuk menangani sengketa tersebut ketimbang CC yang sebenarnya merupakan bagian tak terpisah dari kewenangan MK sebagai pengawal konstitusi (guardian of the constitustion).
Beberapa negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi dan punya wewenang memeriksa perkara CC antara lain Jerman, Spanyol, Afrika Selatan, Korea Selatan, Azerbaijan, Bavaria dan Kroasia. Oleh karena itu alangkah baiknya melihat bagaimana penerapan CC di negara-negara tersebut sebagai “studi perbandingan”. Khususnya Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts).
Di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi termasuk tujuh negara di atas, kewenangan MK pada pokoknya hanya tiga: (1) pengujian undang-undang dengan konstitusi; (2)memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara; dan (3) constitutional complaint. Sedangkan kewenangan seperti memutus sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik hanya bersifat aksesoris.Sementara MK di Indonesia ada lima kewenangan dengan meniadakan constitutional complaint dan menambahkan kewenangan memutus perkara pemakzulan Presiden/Wakil Presiden. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran MK pasca pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR. Sehingga MK dimaksudkan juga untuk menangani sengketa tersebut ketimbang CC yang sebenarnya merupakan bagian tak terpisah dari kewenangan MK sebagai pengawal konstitusi (guardian of the constitustion).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas,
dapat ditarik beberapa pelajaran untuk merumuskan mekanisme CC yang dapat
dilakukan di Indonesia, sepanjang UUD 1945 atau UU MK memberi kewenangannya.
Pertama , mekanisme CC dapat ditempuh melalui MK jika pemohon telah berupaya menggunakan instrumen pengadilan lain. Atau jika upaya hukum biasa sudah ditempuh (exhausted of justice). Kecualijika Mahkamah berpendapat bahwa akan ada kerugian yang besar jika upaya hukum biasa dilakukan terlebih dahulu. Dalam cerita di atas, warga Muslim di Jerman telah menempuh pengaduan ke Mahkamah Agung terlebih dahulu. Pengaduan ke MK adalah upaya terakhir setelah upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis.
Kedua , pengaduan CC bertujuan memulihkan hak konstitusional pemohon yang telah dilanggar oleh produk perundang-undangan atau putusan pengadilan. Kerugian konstitusional harus cukup jelas diterangkan. Dalam cerita di atas, ada hubungan sebab akibat dari keluarnya suatu kebijakan/keputusan dengan pelanggaran hak kebebasan beragama warga Muslim di Jerman.Bentuk kerugian konstitusional tersebut harus dibuktikan secara spesifik dan konkrit. Tidak bisa menyembelih hewan kurban pada hari raya Iedul Adha karena ada larangan dari pemerintah setempat.
Ketiga , obyek permohonan berupa peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atau produk hukum yang dikeluarkan oleh otoritas publik baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Semua produk hukum yang berupa pengaturan bukan ketetapan atau beschiking. Hal ini untuk tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Pengujian undang-undang (judicial review) yang sudah termaktub CC di dalamnya. Sehingga obyek CC tidak lagi memasukan undang-undang sebagai obyek permohonan. Selain itu semua produk hukum yang bersifat ketetapan (individual, final dan konkrit) sudah menjadi kewenangan PTUN untuk mengujinya. Sehingga yang diuji di MK adalah produk hukum berupa pengaturan bukan ketetapan.
Keempat , subyek atau pemohon yang memiliki legal standing. Menurut saya, karena pada pokoknya CC adalah bertujuan untuk pemulihan hak konstitusional warga, maka hanya ada dua jenis pemohon: (1) warga negara (perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama) dan (2) kesatuan masyarakat hukum adat. Karena badan hukum baik privat maupun publik –yang menjadi salah satu jenis pemohon dalam JR – konstitusi tidak memberikan hak-haknya secara khusus.
Kelima , putusan MK atas permohonan CC sebatas konstitusional bersyarat. Putusan permohonan CC bukan membatalkan produk perundang-undangan. Karena kewenangan membatalkan produk perundang-undangan di bawah undang-undang ada pada Mahkamah Agung dan Kementrian Dalam Negeri (khusus Perda). Dengan kata lain, pemberlakukan produk perundang-undangan tetap sah sepanjang tidak menyangkut pada kepentingan pemohon.
SARAN
Pertama , mekanisme CC dapat ditempuh melalui MK jika pemohon telah berupaya menggunakan instrumen pengadilan lain. Atau jika upaya hukum biasa sudah ditempuh (exhausted of justice). Kecualijika Mahkamah berpendapat bahwa akan ada kerugian yang besar jika upaya hukum biasa dilakukan terlebih dahulu. Dalam cerita di atas, warga Muslim di Jerman telah menempuh pengaduan ke Mahkamah Agung terlebih dahulu. Pengaduan ke MK adalah upaya terakhir setelah upaya-upaya hukum yang tersedia telah habis.
Kedua , pengaduan CC bertujuan memulihkan hak konstitusional pemohon yang telah dilanggar oleh produk perundang-undangan atau putusan pengadilan. Kerugian konstitusional harus cukup jelas diterangkan. Dalam cerita di atas, ada hubungan sebab akibat dari keluarnya suatu kebijakan/keputusan dengan pelanggaran hak kebebasan beragama warga Muslim di Jerman.Bentuk kerugian konstitusional tersebut harus dibuktikan secara spesifik dan konkrit. Tidak bisa menyembelih hewan kurban pada hari raya Iedul Adha karena ada larangan dari pemerintah setempat.
Ketiga , obyek permohonan berupa peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atau produk hukum yang dikeluarkan oleh otoritas publik baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Semua produk hukum yang berupa pengaturan bukan ketetapan atau beschiking. Hal ini untuk tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Pengujian undang-undang (judicial review) yang sudah termaktub CC di dalamnya. Sehingga obyek CC tidak lagi memasukan undang-undang sebagai obyek permohonan. Selain itu semua produk hukum yang bersifat ketetapan (individual, final dan konkrit) sudah menjadi kewenangan PTUN untuk mengujinya. Sehingga yang diuji di MK adalah produk hukum berupa pengaturan bukan ketetapan.
Keempat , subyek atau pemohon yang memiliki legal standing. Menurut saya, karena pada pokoknya CC adalah bertujuan untuk pemulihan hak konstitusional warga, maka hanya ada dua jenis pemohon: (1) warga negara (perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama) dan (2) kesatuan masyarakat hukum adat. Karena badan hukum baik privat maupun publik –yang menjadi salah satu jenis pemohon dalam JR – konstitusi tidak memberikan hak-haknya secara khusus.
Kelima , putusan MK atas permohonan CC sebatas konstitusional bersyarat. Putusan permohonan CC bukan membatalkan produk perundang-undangan. Karena kewenangan membatalkan produk perundang-undangan di bawah undang-undang ada pada Mahkamah Agung dan Kementrian Dalam Negeri (khusus Perda). Dengan kata lain, pemberlakukan produk perundang-undangan tetap sah sepanjang tidak menyangkut pada kepentingan pemohon.
SARAN
1. ConstitutionalComplain seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD
1945. Hal ini dikarenakan karena ConstitutionalComplain berhubungan erat
dengan hak dasar konstituional warga negara dan harus ada pada kewenangan MK,
serta sejajar dengan kewenangan MK yang lain yang sudah termaktub dalam UUD
1945. Selain itu juga permasalahan yang ada selama ini belum semuanya dapat
diselesaikan dengan melalui kewenangan yang dimiliki MK selama ini, terutama
kewenangan Judicial Review. Akan tetapi jika kewenangan memutus ConstitutionalComplain
diberikan kepada MK dengan cara dimasukkan dalam amandemen UUD 1945 maka
akan membutuhkan waktu yang sangatlah lama. Belum tentu dalam kurun waktu
sepuluh tahun yang akan datang akan terjadi amandemen UUD 1945. Dalam hal ini
kami berpandangan bahwa untuk mempercepat warga negara mendapatkan perlindungan
terhadap hak-hak konstitutionalnya, maka tambahan kewenangan MK dalam memutus ConstitutionalComplain
lebih baik dimasukkan terlebih dahulu dalam revisi UU MK.
Melakukan revisi UU MK dengan alasan yang sangat mendesak ini serta
menghindari adanya kekosongan tidak akan terlalu membutuhkan waktu yang sangat
lama serta proses yang sulit dibandingkan jika melakukan amandemen UUD 1945.
Akan tetapi ini bukan berarti kewenangan memutus ConstitutionalComplain tidak
perlu dimasukkan dalam UUD 1945. Tambahan kewenangan ini harus sejajar dengan
kewenangan-kewenangan MK yang sudah termaktub terlebih dahulu. Oleh karena itu,
jika suatu saat nanti amandemen UUD 1945 dilakukan maka kewenangan memutus ConstitutionalComplain
juga harus ikut dimasukkan. Akan tetapi, sebelum amandemen itu ada maka
harus dilakukan terlebih dahulu revisi UU MK yang salah satu tujuannya untuk
menambahkan kewenangan MK dalam memutus ConstitutionalComplain untuk
menjamin hak-hak konstitutional warga negara.
2. Adanya ConstitutionalComplain menjadi
sebuah keharusan yang ada pada wewenang MK maka perlu difikirkan pula hal mana
sajakah yang dapat dijadikan sebagai
obyek dari ConstitutionalComplain. Jangan kemudian kewenangan tambahan
yang urgent tersebut diberikan tanpa batasan dan aturan yang jelas. Dari
pengertian yang dikatakan oleh Mahfudz, MD., maka bisa dilihat dua hal yang
menjadi obyek dari permohonan ConstitutionalComplain tersebut, yaitu:
Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitutional yang tidak ada
instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya dan Pengajuan perkara ke MK atas
pelanggaran hak konstitutional yang tidak tersedia lagi atasnya jalur
penyelesaian hukum (peradilan).
3.Selain harus harus memahami obyek mana
sajakah yang menjadi kewenangan dalam ConstitutionalComplain, juga perlu
diberikan pula adanya aturan dan batasan yang jelas. Aturan dan batasan ini
dapat dikatakan juga sebagai syarat apakah suatu perkara tersebut dapat dikatan
sebagai obyek komplain hak konstitusional ataukah tidak. Aturan dan batasan ini
bisa dilihat dalam peranturan perundang-undangan yang sudah ada. Diantara
aturan dan batasan yang dapat kami simpulkan adalah:
a.
ConstitutionalComplain berhubungan erat dengan pelanggaran hak
konstitusional warga negara yang tidak ada instrumen hukum untuk
menyelesaikannya atau tidak lagi tersedia jalur penyelesaian hukum.
b.
ConstitutionalComplain harus lah terhadap perkara yang
berupa pelanggaran langsung terhadap konstitusi dasar negara Indonesia secara
langsung.
c.
ConstitutionalComplain merupakan jalan terakhir yang diajukan
setelah tidak tersedia lagi penyelesaian terhadap perkara tersebut.
4.Perlu dipahami bahwa
jalan terakhir yang dimaksud disini bukan hanya melalui penyelesaian hukum di
pengadilan, tetapi juga melalui penyelesaian lain di lembaga legislatif melalui
legislatif review dan penyelesaian di lembaga eksekutif melalui executive
review. Untuk aturan dan batasan yang terakhir ini memang harus
dicantumkan. Hal ini disebabkan bahwa ConstitutionalComplain merupakan
langkah terakhir dari adanya beberapa proses yang telah dilalui sebelumnya.
Selain itu, ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah kontrol normatif dalam
menciptakan sebuah peraturan
Daftar Pustaka
Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Konstitusi Press.
Hoesein, Zainal Arifin. 2013. Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahfud MD, MOH. 2010. Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahkamah Konstitusi RI & Permasalahan Constitutional Complaint
Reviewed by Karaeng Se're
on
3:15:00 AM
Rating:
No comments: